Kala itu, saya mau menemui Pak Budi (iya, Pak Budi, dosen yang merupakan salah satu founder SBM ITB yang pernah saya teliti rutinitas uniknya di postingan ini) di ruangannya. Lupa ada urusan apa. Mungkin ngga ada urusan, atau mungkin ada urusan. Kalau ngga ada urusan, berarti saya ke sana cuma buat numpang duduk laptopan, ngerjain kerjaan. Btw, duduk di depan beliau itu memicu rasa kompetisi loh. Ngetiknya cepet banget dan suaranya keras. Kalau saya ga ikut ngetik dengan cepat tuh rasanya cupu gitu. Bikin panik pokoknya.
Nah, untuk tahu beliau itu ada di ruangan atau engga, saya selalu ngecek Google Calendar-nya beliau. Oh iya, (hampir) semua dosen SBM ITB itu kalau janjian bimbingan sama mahasiswa atau meeting apapun tuh pasti semua jadwalnya ada di Google Calendar gitu. Dijunjung tinggi sekali lah transparansinya! Terus, gak sengaja liat di kalender Pak Budi ada jadwal workshop tentang Class Management buat para dosen. Jadi semua dosen yang mengajar di SBM ITB, termasuk dosen yang dari program studi lain itu harus ikutan workshop ini. Wih, menarik.
Sebagai yang sudah pernah duduk dalam kelas sebagai mahasiswa, kadang saya penasaran apa metode-metode yang digunakan dosen dalam mengendalikan situasi kelas yang isinya manusia yang didaulat menjadi harapan bangsa, yang padahal mungkin belum punya harapan apapun terhadap dirinya sendiri di masa depan. Masih dalam tahap pencarian jati diri dan mencoba bergaul dengan teman-teman baru dari beragam budaya. Masih beradaptasi dengan cara belajar anak kuliahan, yang diekspektasi super mandiri dalam pembelajarannya. Pe-er gak tuh kedengarannya? Dosen itu ibarat gerbang terakhir untuk memoles manusia sebelum mereka dilepas ke dunia kerja.
Saat berhasil menemui Pak Budi di ruangannya, langsung kutanyakan siapa yang akan membawakan workshop itu. Rupanya, narasumber workshop-nya adalah seorang dosen yang nyentrik nan karismatik, yaitu Pak Budi itu sendiri. Wih, tambah-tambah menarik.
Setelah beberapa hari mengumpulkan keberanian untuk minta izin nonton workshop itu, akhirnya, pada pagi hari setengah jam sebelum workshop-nya dimulai, saya menghadap Pak Budi. “Boleh, tapi gak jangan cuma nonton, ikutan dalam workshop-nya, ya,” ujarnya dengan santai.
Dengan penuh keyakinan dan keberanian, saya pun mengiyakan. Lalu, dalam beberapa langkah kaki kemudian, dua hal tadi perlahan memudar…memudar… Nanti, kalau tiba-tiba di dalam workshop-nya ada simulasi ngajar di depan..ya kali saya coba ngajar di hadapan dosen-dosen yang dulu ngajar saya? Saya mah dikenal jagonya bertindak kurang ajar, hahaha.
Sesaat kemudian, saya coba ingat-ingat pengalaman 3 tahun ke belakang untuk saya jadikan alasan kenapa saya harus berani ikutan workshop yang isinya dosen-dosen itu. Saya kan udah ditempa keras selama di KIBAR buat berani ngobrol sama segala jenis manusia dari jabatan dan bidang yang beragam. Mulai dari bidang yang saya ngerti sedikit, sampai yang gak ngerti sama sekali. Jadi, gak boleh minder!
Salah satunya, dibikin jadi berani buat foto bareng sama idolanya saya! Huehe~
Lagipula, yang namanya belajar mah ga ngeliat strata. Yang penting semuanya bertujuan sama, untuk jadi lebih baik dari yang sebelumnya. Dan kalau ada yang gak ngerti, ya nanya. Dan jangan bersikap pikasebeleun. Bisi diontrog batur, paur! Mun wani mah mangga wae, gas pol (silakan tanya artinya sama temen yang ngerti Bahasa Sunda, ya).
***
Singkat cerita, saya berhasil bertahan hidup dalam workshop itu. Sedikit gambaran, sebelum workshop hari pertama, kami diminta menyiapkan bahan pembuatan silabus untuk mata kuliah yang dikuasai. Sedangkan di hari kedua, kami diminta menyiapkan bahan kuliah untuk pertemuan pertama perkuliahan.
Pada keberjalanannya, saya dapat melewati hari pertama dengan baik-baik saja, walaupun ada sedikit baret-baret. Di hari kedua, saya ibarat tentara yang tertembak di medan perang, berhasil selamat walau jalannya terseret-seret. Satu hal yang bikin saya kuat menghadapi cobaan apapun yang ada pada saat itu adalah agar saya dapat menceritakan pembelajarannya pada kalian! Mirip-mirip sama apa yang bikin Viktor Frankl termotivasi dalam menghadapi masa-masa di kamp konsentrasi Nazi gitu deh (hahaha, pengen banget disamain). Dia termotivasi untuk bertahan hidup agar ia dapat menyempurnakan riset Logotherapy-nya dengan pengalaman yang dia hadapi selama di sana dan kemudian membagikan ilmunya di ruangan kelas penuh dengan mahasiswa. Pokoknya, kalian harus baca bukunya, Man’s Search For Meaning. Sangat membuka perspektif dalam memaknai hidup dan sangat membantu berpikir positif dalam menghadapi segala macam rintangan!
Oke, kembali ke topik utama. Teman-teman sekalian, seperti yang saya prediksikan, dosen itu juga ternyata manusia! Jadinya, dari workshop dosen itu banyak banget wawasan kaya akan kebijaksanaan yang dapat diterapkan dalam kehidupan saya sehari-hari. Nah, saya rasa pelajaran yang saya dapatkan juga relevan dan akan berguna bagi hidupmu di kemudian hari, atau pun beberapa saat setelah selesai membaca tulisan ini.
Oh iya, buat kamu yang mungkin membaca ini karena berharap ada bahasan teknis tentang cara ngajar, tentu saja, kamu tidak akan menemukannya! Tidak akan saya bahas karena ada kemungkinan besar saya salah menyampaikan, bisa menyesatkan hahaha. Nanti ditangkap, kayak yang bikin Kerajaan Ubur-Ubur. Di sini, saya mau bahas tentang pola pikirnya saja, menurut sepenangkapan saya.
1. Tentukan tujuan dan petakan cara mencapainya.
Dalam membuat silabus, tentu perlu tahu apa yang mau dicapai, apa objektifnya. Harus jelas dan terukur. Ibarat bikin rencana perjalanan, harus tahu tujuan akhirnya ke mana. Beneran bisa nyampe ngga ke sana dengan usaha yang akan dilakukan. Gak bisa kayak, “kita jalan kaki ya ke Bandung, tapi abis itu ke Tokyo dan Paris juga.” Contohnya, gak bisa seorang dosen berharap mahasiswanya bisa bikin bisnis teknologi yang berprofit 1 miliar dalam satu semester. Kecuali pake teknologi metafisika kayak yang dipake Sangkuriang, mungkin bisa. Nah, untuk tahu mahasiswa beneran mencapai objektif yang ditentukan, tentu harus dicek. Makanya, setelah kami menyusun objektif dan silabus, Pak Budi langsung meminta kami untuk membuat soal ujian akhir semester. Jreng!
Tahu gak apa yang terbayang dalam pikiran saya saat disuruh bikin soal ujian? Berasa ditanya malaikat dalam kubur tentang apa aja yang saya perbuat di dunia! Hahaha. Begitu kita tahu apa yang beneran diuji, kita akan dapat menyusun rencana dengan lebih baik. Mana yang penting dipelajari, mana yang engga. Tentukan prioritas.
Dulu, pernah tuh dapet dosen yang ngajarnya ngikutin buku, plek ketiplek. Sampai saya dan teman-teman bisa tahu dia akan ambil soal ujiannya dari mana. Sayangnya, kami nggak tahu mana yang beneran kepakai di dunia nyata. Nah, ini tuh ibarat menjalani hidup yang ngikutin orang aja. Orang berlaku A, kita ikutan berlaku A. Ditanya ujungnya mau mencapai apa, ya, entah ya. Kalau ternyata orang yang diikutinnya ternyata gitu-gitu aja, ya kita nggak ke mana-mana.
Pak Budi lagi jelasin tentang Bloom’s Taxonomy, salah satu alat bantu dalam menentukan objektif dalam pembelajaran. Kan ada materi yang “oke cukup tahu” aja cukup dan ada yang “ini harus bisa karena kepake banget di dunia kerja!”. Ini tuh membantu memprioritaskan yang penting gitu, biar gak terlalu overkill ngasih tugas dan ujiannya di setiap materi hahaha~
2. Posisikan diri menjadi orang lain dalam menilai diri kita sendiri.
Di hari kedua, kami mendapat giliran maju ke depan satu persatu untuk simulasi menyampaikan kuliah di pertemuan pertama perkuliahan, sekitar 10 menitan gitu kayanya (tapi pas giliran saya kok lamanya seperti…selamanya). Setelah itu, yang maju akan dikomentari oleh yang lainnya, dalam bentuk tulisan. Bagian menariknya, yang maju pun harus menuliskan apa hal yang kira-kira orang lain komentari tentang performa dirinya. Jadi, nanti abis semuanya beraksi, masing-masing akan baca komentar orang lain tentang dirinya (ditempelin di dinding gitu, jadi semua bisa liat punya semua) dan membandingkan dengan apa yang dia catat sendiri.
Ini keren banget. Kalau kita duduk di posisi orang lain dan melihat diri kita sedang beraksi, apa yang kita suka dan gak suka? Sebaik apa kita mengetahui kelebihan dan kelemahan kita?
Ini sebenernya foto hari pertama sih. Cuma mau menggambarkan situasi aja kalau banyak tempel-tempelan di tembok itu. Semua tahu isi pikiran semua orang, bisa saling mengomentari dan memberikan masukan. Semuanya harus dibawa santai ya, jangan keki apalagi ditanggapi sampai ke dalam hati.
3. Dimulai dari percaya, lalu peduli, akhirnya saling memahami dan terjadi harmoni!
Setelah sesi simulasi mengajar selesai, Pak Budi membahas beberapa hal yang sudah baik dilakukan dan beberapa hal yang butuh perbaikan dari masing-masing orang. Dipapay, cuy! Di sini, barulah saya menyadari alasan kenapa simulasinya itu situasinya adalah pertemuan pertama perkuliahan.
Pertama, kesan awal itu menentukan. Bermodalkan hierarki (dalam konteks ini sebagai dosen) saja tidak cukup untuk membuat orang-orang bisa peduli dan menghargai. Dalam pertemuan pertama, mahasiswa (dulu saya termasuk di dalamnya) pasti langsung bikin penilaian sendiri: Apakah kamu layak didengarkan sepanjang semester karena berwawasan dan berpengalaman? Apakah mata kuliahmu harus diprioritaskan atau cukup dikebut semalam? Punya selera humor atau punya potensi bikin orang tremor?
Sebelum ke materi yang mau disampaikan, mahasiswa harus kenal dengan manusia yang berdiri di hadapannya, supaya bisa tumbuh rasa percaya—kalau perkenalannya meyakinkan ya. Kan ada peribahasanya, tak kenal maka tak sa…? mpai ke KUA. Kalau gak dapat rasa percaya, segimanapun kamu jumpalitan menyampaikan materi, akan dengan semudah itu audiensmu atau lawan bicaramu untuk lupa. Kamu tidak berarti apa-apa di mata mereka. Jadi, bisakah kamu jadi manusia yang mendapatkan kepercayaan orang dalam sebuah pertemuan pertama? Bahkan, kalau kata Forbes, kesan pertama itu didapatkan dalam waktu 7 detik saja!
Kedua, ibarat mau main game, harus tau aturan mainnya. Di pertemuan pertama perkuliahan juga begitu. Dosen harus bisa menjelaskan ekspektasinya biar mahasiswanya tahu apa yang harus dilakukan dan dapat berpikir cara terbaik dalam melakukannya. Lalu, dosen harus konsisten dengan ekspektasi yang ia telah tentukan. Mulai dari hal seperti teknis penilaian, sampai hal sesimpel jam berapa ia dapat ditemui di ruangannya.
Dalam lika-liku dunia kerja, banyak salah kaprah terjadi saat seseorang tidak memberi tahu ekspektasi dia pada rekan kerjanya atau tidak konsisten dengan ekspektasi yang disepakati di awal. Begitu juga dalam percintaan. Jangan sampai pasanganmu harus terus berkompromi karena itu akan membuat hubunganmu menjadi basi. Kata orang-orang yang berpengalaman sih gitu.
Nah, tadi kan udah dibahas dua hal penting untuk dilakukan di awal pertemuan, sekarang saya mau bahas tentang hal terpenting yang harus diingat sepanjang pertemuan dan yang terpenting untuk dipahami agar bisa saling memahami. Oh iya, perlu diketahui, poin yang ini sebenernya ngga dibahas begitu mendalam sama Pak Budi, tapi menurut saya ini yang paling keren pada workshop hari itu.
Siswa/mahasiswa juga manusia, sama seperti pengajarnya. Punya banyak peran dalam kehidupannya. Bisa sebagai anak, sebagai kakak dan/atau adik, bahkan ada yang sebagai tulang punggung keluarga walau usianya masih muda. Atau bisa juga sebagai ketua OSKM ITB (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa ITB, ospek bersama buat mahasiswa baru) selama 3 kali (baca: Pak Budi). Hal ini terdengar sederhana, namun esensial dan seringkali diabaikan.
Saya nemu video yang mendukung gagasan tadi di TEDx Talk. Seorang guru membuat riset kecil-kecilan yang dilakukan selama 24 tahun untuk mencari tahu guru seperti apa yang dianggap luar biasa oleh muridnya. Salah satunya adalah guru yang memahami kalau siswa punya kehidupan lain di luar sekolahnya.
Iya, terus kenapa? Gini. Begitu gagasan tadi sudah diresapi oleh seorang pengajar, dia akan sadar bahwa bebannya itu gak hanya menyampaikan bahan ajar saja, tetapi juga menyiapkan para muridnya untuk menghadapi dunia.
Sebagai gambarannya, kira-kira, sepertiga hari seorang pelajar kan dihabiskan di sekolah dan rutinitas itu berlangsung selama bertahun-tahun (kalau di Indonesia wajib belajar 12 tahun kan tuh). Berarti bisa dibilang kalau pondasi penting dalam hidup manusia yang menjalankan peran menjadi seorang pelajar itu ya terbangun di sekolah, setuju ga? Faktanya, banyak pelajar yang waktu tatap muka dengan pengajar di sekolah itu lebih banyak daripada waktu tatap muka dengan orang tuanya. Betapa pengajar itu berperan besar dalam pembentukan masa depan seorang manusia!
Nah, untuk menjadi manusia yang berfungsi dengan baik bagi dirinya dan manusia di sekitarnya, pondasi itu gak cuma “harus bisa aljabar”, “ngerti bagaimana proses fotosintesis”, dan semua mata pelajaran aja kan? Pondasi itu juga termasuk pembangunan karakter, seperti kemampuan berkomunikasi, berani bertanggung jawab, dan ber- ber- yang lainnya yang esensial. Hal-hal yang saya sebutkan barusan itu bukan hal yang dapat dimengerti seseorang melalui bacaan dan ucapan. Harus dengan tindakan, agar benar-benar dirasakan.
“Kemarin pas saya jadi penguji (dalam sidang tugas akhir) ada mahasiswa yang saya coba tanya sebuah pertanyaan, yang jelas-jelas memang nggak masuk dalam lingkup risetnya dia. Dia coba jawab terus, penuh dengan asumsi-asumsi tanpa bukti. Dia seperti gak berani buat bilang ‘saya nggak tahu’. Mungkin takut gak terlihat pintar kalau jawab seperti itu. Saya tuh gak mau kalau mahasiswa hanya sekadar pintar. Mahasiswa harus tahu kalau di atas orang pintar itu masih ada orang jujur, orang bijak,” ujar Pak Budi.
Dari sana saya belajar bahwa seorang pengajar pun harus dapat menjadi contoh manusia yang baik tak hanya dalam wawasan tetapi juga dalam tindakan dan pola pikirnya. Dengan begitu, seorang pelajar dapat paham bagaimana menjadi manusia yang seharusnya, dapat beradaptasi dan berguna bagi lingkungannya. Ini disebut di undang-undang juga sih (liat Pasal 6, Bab II – Kedudukan, Fungsi, Tujuan).
“Oke Dhil, saya pusing dengan beberapa paragraf kamu yang terakhir. Jadi, poinnya apa?”
Poinnya adalah, jika pengajar dapat menjadi contoh manusia yang baik, pelajar akan memahami bagaimana menjadi manusia yang baik. Dari sana, harusnya rasa saling memahami antara pengajar dan pelajar akan tumbuh dengan sendirinya! Kayaknya sih gitu. Soalnya itu yang saya rasakan dari para pengajar dan mentor kesukaan saya.
Hal ini berlaku di dunia sehari-hari banget kan, apalagi di dunia kerja. Jika kamu adalah seorang bos dengan beberapa anak buah, kamu lah yang mengambil posisi sebagai “pengajar” itu. Bagaimana kamu bertindak akan menentukan budaya yang ada di dalam tim yang kamu pimpin. Oh iya, budaya yang baik itu berpengaruh besar pada kesuksesan perusahaan loh. Jadi ini gak hanya tentang mencetak manusia yang ahli, tetapi juga manusia yang punya hati dan berbudi pekerti.
Di foto ini, Pak Budi lagi ngajar mahasiswa tingkat pertama. Itu di tangannya ada iPad yang beliau pakai untuk nulis poin penting yang disampaikan selama sesi dan ditampilkan di layar sebelah kiri auditorium (yoi, itu whiteboard dianggurin). Di layar sebelah kanan ada catatan kuliah yang diketik oleh mahasiswa di komputer. Jadi, beliau bisa cek apa aja yang ditangkap oleh mahasiswa berdasarkan catatan yang dapat dilihat semua mahasiswa dalam auditorium itu. Biar mahasiswanya ngerti pentingnya bikin catatan, ya dosennya harus mencerminkannya dalam perbuatan, bukan dalam kalimat suruhan. Kalau pengen mahasiswanya ngerti teknologi, ya dosennya harus ngerti makenya juga. Sama halnya kalau pengen mencetak mahasiswa yang berintegritas tinggi, ya dosennya yang duluan harus unjuk gigi.
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” – Pramoedya Ananta Toer, dalam Bumi Manusia
***
Yak! Begitu kira-kira pelajaran yang saya dapatkan dari bagaimana seorang pengajar mengajar para pengajar untuk mengajar. Terima kasih buat Pak Budi yang baik hati, membolehkan saya menyusup ke workshop-nya. Ini salah satu tulisan tersulit yang pernah saya buat dalam hidup saya. Empat bulan gak beres-beres. Sama sulitnya kayak nulis tugas akhir!
Atas terealisasikannya tulisan ini, saya ingin berterima kasih kepada:
- Mas Bayuningrat, dosen SBM ITB yang dulu membimbing bisnis tim saya selama 1 tahun mata kuliah IBE (Integrated Business Experience). Di sela-sela kesibukannya nulis disertasi mau menyempatkan membaca tulisan ini tuh..saya beruntung sekali! Kalau udah lolos di matanya Mas Bay, semoga tulisan ini tervalidasi nggak sotoy-sotoy amat tentang dunia dosen~
- Aulia Mahiranissa partner bisnisku di Nya’ah yang telah menemaniku mengetik siang-siang walau hampir bengek karena di restorannya ada yang merokok di ruangan ber-AC
- Emen the Superman yang sudah meyakinkanku untuk bikin tulisan ini ada prolognya
Semoga curahan pemikiran dari pengalaman saya ini ada manfaatnya bagi kamu yang membaca. Terima kasih telah menemani saya hingga kalimat terakhir ini. Kritik dan masukanmu sangat kunanti.
N.B. Mungkin kalian penasaran kenapa saya sebegitu penasarannya dengan dunia pengajar. Untuk itu, saya bikin tulisan ini ada prolognya. buat ceritain asal-usul kepenasaranan saya tersebut huehehe. Untuk membaca, klik di sini. Atau mau klik yang ini juga boleh.
Leave a Reply