Orang yang Tersesat Belum Tentu Tersesat

“Woi, masa sih? Di mana-mana orang yang tersesat, ya, ya, berarti tersesat!”

Wuits, belum tentu, kawan, orang yang tersesat itu belum tentu tersesat?

“Apanya? Apanya yang gak tersesat?”

Jalan pikirannya. Setiap orang memiliki jalan pikiran masing-masing yang bisa berbeda antara satu sama lain. Untuk bisa membaca jalan pikiran tersebut yang dibutuhkan adalah reasoning, penjabaran dari alasan dan pertimbangan, yang jelas dan masuk akal. Saat reasoning itu tidak lengkap, bisa menyebabkan pikiran kita langsung mengambil suatu kesimpulan yang berasal dari lompatan pikiran kita. Pikiran kita melompati jurang yang ada karena reasoning yang tidak lengkap tadi bisa menyebabkan kesesatan berpikir.

Kalau kamu mengambil kesimpulan bahwa saya akan membahas tentang kesesatan berpikir, ya, kamu benar, silakan lanjutkan membaca! Silakan tersesat dalam tulisan ini. Jadikan refleksi diri, sudah sebanyak apakah kamu menyesatkan orang lain. Haha.

Kawan, pernahkah kau melihat seseorang berbicara di depan televisi, terdengar begitu meyakinkan, sampai-sampai membuat kau bertepuk tangan? Tetapi setelah acara berakhir, kamu seperti tidak mendapatkan apa-apa karena ternyata omongan orang tersebut cenderung berputar-putar di inti yang sama. Membuat pikiran kita tersesat gara-gara dikasih penjelasan yang tidak tepat konteksnya karena ada beberapa premis yang tidak diutarakan atau malah diberi penjelasan yang sepertinya menjelaskan padahal tidak menjelaskan apa-apa.

Sebagai contohnya, saya kasih contoh deh, ceritanya ada seorang wakil rakyat yang sedang diburu media untuk melakukan pers conference. Setelah dikejar ke sana, ke sini, akhirnya bapak itu mau diwawancarai di situ. Para awak media memenuhi ruangan sampai ke pojok-pojok di bawah tangga. Mereka sedang mengejar penjelasan tentang apa dampak dari keterjangkauan harga pangan terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia, dan penjelasan bapak itu seperti ini:

“Perekonomian Indonesia sedang di tahap yang baik karena semua harga pangan menjadi terjangkau. Beras, palawija, daging sapi, daging ayam, daging kambing, daging rendang (?), semuanya bisa dibeli bahkan oleh pria yang ada di pojok sana, iya, kamu, yang di bawah tangga. Maka dari itu, saat semua harga pangan itu terjangkau, perekonomian kita sedang baik.”

Setelah mendengar penjelasan itu, ada beberapa wartawan yang sudah merasa mendapat berita yang cukup, lalu mereka pulang, ada juga yang masih tetap tidak beranjak. Di antara yang tidak beranjak itu, ada yang memang masih ingin bertanya, ada juga yang tetap di sana karena yang pulang itu belum sebanyak yang masih diam di sana, jadi dia memilih tetap di sana.

Tahu apa? Jawaban bapak itu memang terdengar meyakinkan, ditaburi fakta, tapi menyesatkan. Konklusi yang kita dapat hanyalah premis “perekonomian indonesia sedang di tahap yang baik karena semua harga pangan terjangkau” dengan penataan kalimat yang berbeda. Ini namanya kesesatan berpikir, nama spesifiknya ini tuh jenis begging the question.

Terpujilah wartawan yang tetap tinggal di sana dan menanyakan jawaban yang lebih tepat. Namun, tidak salah juga para wartawan yang pergi meninggalkan tempat tersebut karena sudah yakin, apapun kalimatnya, jawaban bapak itu pasti sesat.

Kesesatan pikiran tuh nggak cuma itu doang, banyak banget macamnya!

Ada cewek, lagi curhat ke pacarnya, “eh tau nggak, kemarin pas gue lagi jualan, banyak banget yang beli!” Kata cowoknya, “mungkin, karena kamu cantik banget, yang..”

Inilah, jawaban yang nggak akan mengantarkan kita ke mana-mana. Jawaban yang menyesatkan. Padahal, kalau dikaji lebih dalam, bisa saja mereka menemukan hal yang bisa meng-improve jualannya si cewek itu, nggak cuma meng-improve keharmonisan hubungan mereka doang. Yang gini-gini nih harus dikurangin. Argumen ini mengacu ke orang yang membuat sebuah pernyataan, bukan ke isi pernyataannya. Namanya kesesatan berpikir jenis ini tuh, argumentum ad hominem. Hafalin ya, biar keren.

“Eh, emang aku salah ngomong apa sih? Tadi aku nyamperin dia, ngomongin baik-baik semua duduk perkaranya sesuai dengan apa yang beneran terjadi! Tapi dia malah pergi gitu aja habis aku ngomong gitu, aku salah ngomong apa siih?”

Kawanku, bukan karena habis kamu ngomong sama dia terus dia langsung pergi itu berarti gara-gara ada yang salah dengan ucapan kamu. Mungkin bisa karena dia ingin pipis makanya dia pergi. Mungkin bisa karena dia nggak tau kamu tuh lagi ngomong sama dia, jadi ya dia pergi aja gitu nggak tau apa-apa. Mungkin bisa juga karena kamu bau. Ada banyak hal kan yang bisa menyebabkan sesuatu terjadi? Nggak cuma karena satu hal yang terjadi sebelum kejadian itu, terus hal itu yang menyebabkan kejadian itu. Nah, ini namanya slippery slope.

“Plis, kamu jangan menyudahi persahabatan kita karena aku gak kuat kalau nggak ada kamu.”

Nah, siapa yang nggak berubah pikiran begitu dibilangin kalimat kayak gini. Sebaiknya, kamu jangan langsung tersentuh atau sampai menitikkan air mata. Jangan mau langsung iya-iya aja karena argumen yang dibangun dari rasa iba ini. Hati-hati dengan argumen mematikan semacam ini. “Kak, minta seribu kak, kasihan belum ngerokok dari lahir….”, “Maaf ya aku izin, kasihan besok pacar aku ulang tahun masa nggak dikasih surprise…”, “Udah, daripada jagain stand, mending nonton sama aku yuuuk, aku udah lama nggak nonton di bioskop nih, huhu.” Argumen seperti ini nggak salah sih, tapi menghalangi cara pikir rasionalmu untuk memilih pilihan yang lebih baik karena keburu tertutup argumen yang menyentuh hati sanubarimu, padahal gak perlu. Kesesatan berpikir ini namanya argumentum ad misericordiam. Iya, misery.

Ada juga argumen yang dirasa benar karena dilontarkan oleh orang yang punya otoritas, namanya argumentum ad verecundiam. Kayak misalnya itu, kamu disuruh percaya aja sama teori ini, soalnya guru kamu bilang kayak gitu. Padahal kan belum tentu bener kan.

Lalu, ada juga argumen yang dianggap benar karena argumen itu belum diketahui benar atau tidaknya. Dulu, teori Matahari yang mengelilingi Bumi itu dianggap benar karena belum ada yang bisa membuktikan kalau teori itu salah. Argumentum ad ignorantiam.

“Alaaah, di dunia ini tuh laki-laki cuma ada dua, kalo nggak bajingan, ya, homo!”

Wets dah, kasian nanti kalau banyak cewek-cewek yang percaya sama pernyataan tadi. Apa kabar tuh cowok yang soleh, tiap pergi jalan-jalan pulangnya selalu bawa oleh-oleh? Nama kesesatan berpikir yang membuat kita menutup kemungkinan yang sebenarnya ada, tidak cuma pilihan yang diberikan saja, adalah false dilemma atau black-or-white.

“Makan temen banget sih fix gila kalau kamu beneran udah ngumpulin tugasnya duluan…udah dikumpulin ya?”

Ini adalah pertanyaan yang tidak adil karena keburu nge-judge orang duluan. Kalau dia bilang “iya, udah ngumpulin” berarti dia makan temen padahal kan nggak gitu juga, misalnya. Mau nggak mau, orang bakalan lebih condong ke pilihan yang nggak membuat kesan yang buruk. Namanya, loaded question. Argumen yang udah disisipi asumsi, jadi bikin orang nggak bisa jawab pertanyaan tanpa diliat nggak bersalah. Nyebelin kan? Lumayan.

Nah, kesesatan yang lagi marak terjadi pas lagi pemilu tuh salah satunya adalah strawman. Kesesatan ini terjadi akibat salah dalam mengartikan argumen seseorang supaya argumen itu mudah diserang. Misalnya, capres X ingin memperkuat pertahanan negara dengan mempersenjatai tentara dengan lebih canggih. Bisa saja ada yang berkomentar, “wah, ini sih dia bakalan ngajak perang negara lain nih, udahlah, mending pilih yang damai aja.” Sekali lagi harus saya tekankan, komentar tersebut tidak salah, cuma penarikan kesimpulannya itu tidak berdasar pada argumen-argumen yang menjelaskan mengapa dia bisa mengambil kesimpulan bahwa memperkuat pertahanan negara itu berarti bakalan ngajak perang negara lain.

Terus, rata-rata orang yang males diajak ngomongin tentang capres-capresan, soalnya udah kebanyakan dengerin pendapat orang yang isinya sesat semua, biasanya ngomong “udah daripada mikirin pemilihan calon presiden, mending mikirin besok UAS mau milih huruf apa di LJK.” Nyet, lo ngelakuin kesesatan berpikir juga. Kenapa? Karena menanggapi sebuah isu dengan cara mengalihkan kita dari topik yang sedang dibahas, red herring namanya. Iya, iya, tapi nggak salah kok.

Nah, sebenernya jenis-jenis kesesatan berpikir tuh masih banyak lagi, tapi saya udah nggak sanggup nulis lagi, jadi segini aja deh, ya, jenisnya.

Tujuan dari ditulisnya postingan ini karena saya ingin berbagi cerita, gimana indahnya dunia kalau sebelum berpendapat itu mbok, ya, dipikir dulu rasionalisasinya. Apalagi kita hidup di negara demokrasi, mengutarakan pendapat sudah bisa masuk jadi hak asasi, tapi jangan bikin orang sensi. Ditanya kenapa berpendapat kayak gitu, malah jawab semau elu. Gitu.

Bahayanya dari kesesatan berpikir ini tuh saat orang yang punya pengaruh di lingkungannya menjelaskan sesuatu dengan rasionalisasi yang salah, bikin cara pikir yang menyesatkan. Contohnya dari orang yang punya pengaruh itu nggak cuma petinggi negara aja, tetapi juga para penggerak kemahasiswaan, aktivis, guru SD, kepala rumah tangga, sampai kamu yang suka pakai sosial media. Cara pikirmu akan dibaca orang banyak tuh. Apalagi saat kemarin lagi panas-panasnya pemilu, banyak yang pengguna sosmed yang ikut berkomentar, memberi pandangan, dan sampe berantem demi capres kesayangannya. Lebih baik dikaji dulu sebelum berkomentar, sudah tepat dengan konteksnya apa belum, jangan salah dalam menyoroti masalah.

“Ribet amat dong kalau seumur hidup itu mau ngomong harus dipikirin berkali-kali terus?”

Ya, kan nggak harus. Ada kalanya harus menyikapi sesuatu dengan argumen yang dipikirkan matang-matang karena memang itu dibutuhkan, ada juga kalanya menyikapi sesuatu dengan cara agar semua senang! Lihat deh stand-up comedy. Kalau itu semua argumen ditanggepin pake rasionalisasi, bakalan basi. Terus blog ini. Kalau isi blog ini ditetapkan agar semua kalimat rasionalisasi itu wajib dan menjadi hal yang lumrah, kalian jadi berasa baca jurnal ilmiah.

Iklan penuh dengan kesesatan berpikir. Ya apa nggak? Ada yang bikin jadi menarik dan cerdas, tapi ada juga yang jadi terkesan menipu, seperti bungkus mie instan. Asal kamu tau, waktu dulu, saya menghabiskan seperempat hidup saya untuk mencari mie instan yang kalau dimasak bisa kayak gambar di bungkusnya. Tapi, ya, nggak pernah ada ternyata.

creative-print-ads-104

creative-print-ads-9

Akhirnya, semua kembali padamu, eh ke pada-Nya deng kalau konteksnya akhir hayat sih. Cuma ada satu yang ingin saya titipkan pada kalian setelah kalian membaca post ini: mari pintar-pintar dalam berkomentar!

***

Postingan ini terinspirasi dari mata kuliah Logika dan Berpikir Kritis yang saya dapatkan pada tingkat dua di SBM ITB. Harusnya materi ini dipelajari dari waktu kita SMP sih. Di zaman yang akses ke informasi itu super melimpah ini, kita harus punya kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik untuk kita cerna. Terima kasih atas kuliah yang super keren dan membuka pikiran ini, Pak Awi!


Posted

in

,

by

Comments

6 responses to “Orang yang Tersesat Belum Tentu Tersesat”

  1. milka Avatar

    Suka judulnya. Coba lebih sering ngeblog, biar aku bisa lebih sering baca tulisan Dhila 🙂

  2.  Avatar
    Anonymous

    Tapi semua jangan dibawa ke ranah logical jugaaaaak. Hidupmu jadi tidak berwarna nanti

  3. Sekar Mekar Avatar
    Sekar Mekar

    Dhila, tulisan kamu bagus nak! Belajar menulis lebih giat lagi ya 🙂

  4. sainsfilteknologi Avatar

    Reblogged this on sainsfilteknologi and commented:
    Kesalahan Berpikir

  5. Sofy Avatar

    Kakak tulisannya bagus! Baca tulisan ini antara bingung karena berasa logikanya maen banget mikir kesana kemari. Dan ujungnya jadi punya pandangan baru mengenai konsep berpikir supaya “meminimalisir” kesesatan yang ada.
    Maen juga ke blogku ya 🙂

  6. nonumber Avatar
    nonumber

    Indomie yang disajikan kek bungkusnya udah ada lho.. hahaha #salahfokus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *