Ekskursi, Bukan Eks-Kursi, Bekas Kursi

Assalamualaikum!

Tahukah Anda bahwa selama tanggal 17-20 April 2013 saya tidak berada di kamar saya? Tentu saja tidak. Maka dari itu, saya rasa, ini dia saatnya untuk Anda mengetahui segala-galanya! Nggak segala-galanya juga sih. Yaaa, sebagian besar deh.

Tanggal yang saya tulis di atas adalah tanggal yang agung di kancah kehidupan mahasiswa SBM ITB angkatan 2015, menurut saya. Mengapa? Ini adalah saatnya bagi saya untuk mengecek apakah saya bisa bertahan hidup apabila jauh dari hidup yang selama ini jalani. Mandi dua kali, harus pakai air hangat. Sebelum naik ke kasur, sebadan-badan harus steril dari debu dan kotoran. Harus ada dua bantal, satu guling, dan satu selimut yang menemani tidur saya. Berbagi kamar dengan orang lain. Ngobrol seperlunya dan semaunya. Nggak makan mie instan (ini sih wajib harusnya). Jaket sekali pake, langsung cuci.

Di sini saya dituntut untuk bisa bersosialisasi sepanjang hari, di tempat yang belum pernah saya jamah. Mengakrabkan diri dalam waktu singkat. Mencuci piring, ah saya paling nggak suka cuci piring, apalagi piring bekas orang lain (saya tahu ini mengkhawatirkan bagi masa depan saya nanti kalau jadi ibu rumah tangga). Berjalan jauh berkilo-kilo. Ou yea.

IMG_5283

***

Pagi itu, bis berangkat sekitar pukul enam. Roda bis belum berputar begitu lama, orang-orang di dalamnya sudah mulai berguguran. Gugur dan diterbangkan ke alam mimpi. Saya duduk terdiam dalam sunyi. Gila gak tuh, gaya bahasanya? Asyik bener. Lanjutin lagi ah.

Saya duduk di barisan agak belakang. Pemandangan yang terlihat hanya bantalan kepala kursi dan kepala teman. Kalau yang terlihat bantalan kepala kursi dan pantat teman, tentu beda lagi ceritanya.

Lama-lama saya bosan. Tidak ada yang bisa diajak bercanda. Sudah tidur semua. Saya tidak bisa tidur dan ini tidak adil. Saya tidak adil karena menyalahkan orang lain. Pada akhirnya, saya cari kegiatan sendiri.

Pertama-tama, saya pindah ke barisan paling depan, belakang supir. Di sana ada Kak Bayu. Untungnya, Kak Bayu belum tidur. Saya punya teman untuk diajak bicara.

Duduk di barisan paling depan adalah hal yang menyenangkan. Banyak pemandangan untuk dilihat tanpa harus terhalangi apa pun. Apalagi pemandangan yang dapat ditangkap oleh kaca depan bis. Serasa menonton film 3D. Senang sekali.

Kegiatan selanjutnya adalah bermain games “Dadahin Orang”. Saya main games ini sama Werfan, yang juga duduk di barisan paling depan. Banyak sekali respons orang yang kami tangkap. Ada yang langsung dadahin balik. Ada yang senyum dulu baru dadahin balik. Ada yang bengong, senyum, baru dadahin balik. Ada yang bengong, lalu setelah bis berlalu, barulah ia dadahin balik. Terus ada juga sih yang bengong doang dan nggak ngapa-ngapain, kecuali bengong. Ini games yang seru! Dapat menentukan kecepatan berpikir seseorang. Tapi, games ini juga dipengaruhi tingkat ke-elo-tuh-siapa-dadahin-gue yang dimiliki kita sebagai individu.

Bosan bermain games “Dadahin Orang”, saya menggambar di jurnal kecil saya. Selain menggambar, saya juga mencatat apa yang saya lakukan saat itu. Sekarang, jurnal ini secara official saya nobatkan sebagai Jurnal Ekskursi. Ya, nggak cuma twitter doang yang punya official account. Dalam jurnal ini, saya menuliskan apa yang ini saya tulis, entah itu beresensi atau tidak. Nih contohnya, saya menulis: “10.34 – Werfan pipis. Pak Awi duduk di kursi kenek.”, “19.30 – Makan malam sambil nonton Tendangan Madun.”, “10.28 – Ojan rapiin rambut.”, “10.29 – Ojan rapiin rambut.”

Banyak hal unik yang saya lihat di sepanjang perjalanan saya dari Bandung ke Cianjur, tepatnya ke Kecamatan Pagelaran. Saya lihat ada selang panjang yang disetting layaknya kabel tiang listrik yang dihubungkan ke rumah-rumah. Rupanya, selang ini bukan dummy-nya tiang listrik. Punya fungsi yang mulia. Mengalirkan air yang dipompa dari sungai. Wah, wah.

Ada juga papan yang bertuliskan “SPIRITUAL AA GAIB”. Papan ini diikat ke tiang dan ditancapkan di pinggir jalan raya. Rupanya mengiklankan dari mulut ke mulut saya tidak cukup, ya. Jangan-jangan punya akun twitter juga. Kalau pun ada, mungkin isinya seperti ini: “Sudah tersedia, jin impor dari Arabia. Siap untuk menemani Anda menuju cahaya kesuksesan. Ngepet sudah tidak zaman.”

Perjalanan menuju tujuan kami ini memakan waktu 5 jam. Dua jam di jalanan bagus, tiga jam di jalanan berbatu dan bolong-bolong. Argh, argh. Ibarat kita tiba-tiba mukanya berjerawat batu dan bolong-bolong bekas jerawat. Nggak deng. Saya rasa ini bukan perbandingan dan pengibaratan yang tepat.

Oh iya, saya mau meralat perkataan saya yang sebelumnya. Ini nggak kayak nonton film 3D, tapi 4D. Goncangannya benar-benar terasa. Saat bis melewati jalan rusak, tubuh saya pun ikut terombang-ambing mengikuti display kaca depan.

Kami sampai di kantor kecamatan pukul 11.50. Di sana ada penyambutan oleh staf kecamatan yang dilakukan secara formal. Saya tidak suka hal-hal berbau formal. Membuat saya menjadi mual.

Ini dia bagian serunya. Waktunya seluruh kelompok untuk didistribusikan (sepertinya bukan pilihan kata yang tepat) ke desa masing-masing. Ada 12 kelompok untuk 12 desa. Kami semua dimasukkan dalam pick up. Naik sendiri ke atas pick up sih, sebenernya. Kebayang nggak serunya kayak apa? Pengalaman pertama kalinya saya diangkut pakai mobil bak terbuka! Saking semangatnya sampai nyanyi yel-yel “Orieza sativa, oooo~” berulang-ulang sampai capek. Orieza adalah nama teman saya, dia bertubuh besar bagaikan beruang tetapi lucu. Bagaikan panda aja deh, kayak Po di Kungfu Panda.

IMG_5241

Kelompok saya kebagian di desa Padamaju. Lokasinya cukup jauh dan agak sulit diakses jika tidak menggunakan motor atau jalan kaki. Mobil hanya bisa mengakses daerah desa tertentu. Jalan menuju desa Padamaju ini sungguh berbatu dan dihiasi dengan tanjakan dalam berbagai level. Level akhirnya mungkin bisa disebut “Rock Climbing”.

IMG_5457

Kami tiba di desa Padamaju pada pukul satu. Hostfam (yes, I said hostfam, biar keren) yang menerima kami di sana adalah keluarga Pak Sahriya. Pak Sahriya adalah seorang pengusaha meubel yang juga merupakan salah satu orang yang dipercaya warga desa untuk mempunyai jabatan di kantor desa. Beliau juga merupakan bendahara untuk organisasi simpan pinjam desa. Hampir seluruh pelosok desa tahu, siapalah Pak Sahriya sebenarnya. Beliau bukan Saint Seiya.

IMG_5323

Setelah menyantap makan siang yang sangat mantap, buatan Ibu Lilis, istri Pak Sahriya, saya dan kelompok kecil saya yang bertugas untuk meneliti topik Kekerabatan, sepakat untuk berpencar mengamati keadaan sekitar rumah saat hujan mulai reda. Saya dan Gorija (panggilan imutnya Orieza) pergi ke daerah atas, Evita dan Beni pergi ke arah bawah. Kami berangkat pada pukul setengah empat.

IMG_5471

Pertama, saya dan Gorija pergi ke warung dekat rumah. Di sana, kami nyobain main lotere. Harusnya sih gak boleh judi, tapi kan ini biar ada bahan pembicaraan sama empunya toko. Loterenya ini cara mainnya cuma ngambil kertas yang ditempel di karton dupleks. Di karton dupleks ini juga sudah tertempel jenis-jenis hadiahnya, yang kebanyakan adalah rokok dengan berbagai merek. Kita menang lotere kalau kertas yang diambil itu bertuliskan nomer yang sama dengan nomer yang ditempel pada salah satu hadiah. Dengan seribu rupiah, dapet kesempatan empat kali. Seribuan pertama, terbuang percuma. Begitu juga dengan seribuan yang kedua. Kami sudahi saja main loterenya, jangan sampai semua harta Gorija ludes tak berguna.

IMG_5249

Lalu, kami melanjutkan perjalanan kami. Menurut kabar burung yang gak jelas dari mana dan burung jenis apa, katanya desa Padamaju punya danau di bagian utara desa. Saya dan Gorija dengan semangat menggebu-gebu menggeledah pelosok utara desa… yang dekat rumah. Namun, perjalanan kami tidak membuahkan hasil. Kami malah mengalami awkward moment dengan seorang nenek. Nenek ini bukanlah nenek yang mainstream seperti yang kami biasa lihat. Mulai dari cara berpakaian, nenek ini memilih memakai kaos singlet atau nama lainnya kaos kutang. Saya aja nggak berani pakai begituan, berenang di kolam renang umum aja pakai baju selam. Lalu, nenek ini sambil melakukan hal yang selama ini membuat saya setengah mati penasaran untuk mencobanya, tetapi tidak akan pernah saya coba, yaitu merokok. Kurang jeger apa coba nenek ini? Penampilan saya yang paling sangar itu pas saya masih SD. Ke mana-mana pakai dompet rantai yang disangkutkan ke rok. Padahal siapa juga yang mau ngerampok anak SD di tahun 2000an awal, paling isi dompetnya cuma 1000.

Kami hanya berbincang, lebih tepatnya basa-basi sebentar. Saya terlalu shock untuk mencerna keadaan.

Saya dan Gorija mulai putus asa. Kami putuskan untuk ke arah bawah, menemui Evita dan Beni. Di bawah sana, kami berempat bersua, melepas kangen. Gak deng, yakali.

Kami bertemu di sebuah pertigaan, dekat dengan rumah penyimpanan padi, yang biasa disebut “Goah” oleh penduduk sekitar. Di sana pula kami bertemu dengan empat anak laki-laki yang menggunakan baju yang seragam. Rupanya itu seragam buat TPA, buat les ngaji. Kebetulan, kami membutuhkan info tentang letak mesjid untuk observasi kami.

IMG_5533

Anak-anak ini membimbing kami menuju jalan yang benar. Jalan yang benar menuju masjid terbesar yang ada di sekitar sini. Mereka sebut mesjid ini sebagai mesjid agung. Begitu sampai, di sana ada ibu-ibu lagi pengajian. Namun, sepertinya konsentrasi mereka terpecah begitu melihat kedatangan kami padahal kami masih berdiri di pekarangan masjid, belum masuk ke dalam. Semua mata memandang ke arah kami. Kami pun membuka kacamata hitam kami dan menyebarkan senyuman ke seluruh penjuru. Boong deng. Kami langsung melipir secara perlahan.

Selanjutnya, kami bertanya tentang ada tidaknya danau pada para tour guide cilik ini. Mereka bilang ada. Begitu kami siap melangkah, ada salah satu dari mereka melanjutkan perkataannya, “kalau dari sini sekarang jam enam sore, paling nyampe sininya lagi jam delapan malam..” HEAAA STOP! INI HARUS DIHENTIKAN! Kami gak mau baru sampe desa terus udah dinyatakan jadi orang hilang. Yakali. Apalagi pas udah sampai danau, anak-anak yang nganter ini ternyata bukan anak-anak… HAAAA, SERAM NULISNYA AJA MERINDING!

Itulah highlight hari pertama. Sekarang masuk ke hari kedua.

Saya terbangun pada pukul setengah enam. Oh iya, saya tidur di lantai dua Pak Sahriya, sekamar sama Evita. Tidurnya pake sleeping bag. Yang lain ada juga yang tidur di kamar, tapi pake kasur. Sisanya berserakan di ruang tengah, meringkuk dalam sleeping bag.

Pagi itu disambut dengan hujan. Walau hujan, terlihat beberapa orang melakukan aktivitas di luar rumah, tapi jarang sih. Saya melihat ada seorang anak perempuan berjalan diantara pematang sawah hanya dengan menggunakan topi bundar sampi menyanyikan lagu “Topi Saya Bundar”. Bagian nyanyinya itu hanya fiksi semata, ya.

Saya isi pagi itu dengan menulis jurnal. Pada pukul setengah delapan, Evita menghampiri saya. Ia memamerkan ikat rambut barunya yang menggantikan ikat rambut miliknya yang sudah putus. Dia bilang, dia beli. Padahal ia merenggutnya dari anak ibu penjaga warung, lalu sang ibu penjaga itu dia beri uang. Waah, cara saya bercerita terlihat berlebihan ya, tapi mau gimana lagi dong? Saya berbicara fakta. Bahasa saya, bahasa kebenaran. #leluconOSKMtahunlalu

Sekitar pukul setengah sembilan, saya dan Gorija mulai berpergian, walaupun masih gerimis.

IMG_5305

To be continued, dulu ya. Ngos-ngosan nulisnya. Anda yang baca juga udah mulai capek bacanya, kan? Ngaku aja deh. Berdoa saja semoga ada part 2-nya. Harus bikin tugas presentasi KPIP juga nih, hafty haft.

Wassalam.


Posted

in

by

Comments

4 responses to “Ekskursi, Bukan Eks-Kursi, Bekas Kursi”

  1. Evita Avatar
    Evita

    dhila kenapa bawa-bawa aku dan si iket rambut biru itu sih :”)

    1. Dhila Avatar

      hahaha abisnya mana ada orang malakin iket rambut orang terus disuap pake uang!

  2. milka Avatar

    Hi Dhila, beberapa kali blogwalk ke blogmu, menarik banget, sampai aku memberanikan diri menyapa *karena tulisan kamu outspoken banget, jadi maju mundur mau berhai2 :)*
    Game dadahin orangnya seru ya, jadi pengen nyobain juga :))
    Oya, tulisan kamu hidup sekali. Aku jadi suka ketawa2 sendiri bacanya. Keep writing!

    1. Dhila Avatar

      hehehe, Dhila sih kalau baru kenal gak akan blak-blakan, malu mau ngomong juga.

      iya games dadahin orang ini amannya kalau dimainin di tempat yang jauh dari tempat tinggal, harus sama orang yang kira-kira gak akan ketemu lagiii.

      hidup gitu ya? kadang kalo baca post yang udah lama tuh suka malu sendiri, malah nyesel kenapa dulu nulis gitu. makaasiih :))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *