Navigator

Pada 2019, saya menangis 3 kali di kantor. Pada 2020, saya menangis lebih dari 5 kali di kantor. Meningkat. Bedanya, pada 2019 itu nangisnya di kantor orang, kalau 2020 itu di kantor sendiri. Iya, sejak Juni 2020, aku dan temanku resmi punya perusahaan sendiri dan nyewa kantor di Tanahabang, Jakarta Pusat.

“Apakah dulu berencana punya bikin usaha yang serius sampe punya PT?” Ngga ada. “Terus emang dulu punya rencana apa abis lulus kuliah?” Ngga ada rencana, tapi punyanya keinginan aja. Ingin mengerjakan hal yang kusuka, yang bikin penasaran, yang hasilnya bisa dipamerin, dan syukur-syukur, yang ada manfaatnya buat orang-orang.

“Terus itu kenapa nangis lebih sering? Karena kesel sama klien, ya? Atau kesel sama kerjaannya?” Semakin ke sini, semakin kusadari bahwa yang bikin susah suatu hal itu adalah diriku sendiri. Kadang tuh, belum apa-apa, mikirnya udah bagian sulitnya duluan.

Saat dulu masih punya bos, kalau mentok, tinggal bilang, nanti dibantu cari tahu solusinya. Kalau sekarang, bosnya adalah klien-klien perusahaan. Mana bisa aku bilang mentok sama klien kan tuh? Mereka kan bayar untuk dibantu selesaikan masalahnya, bukan untuk ditambahin masalah baru.

Dari sikap pesimis yang muncul berkala itu, kurasa kalau mencoba membenahi diri secara internal aja ngga cukup, butuh dukungan dari eksternal juga.

Secara internal itu maksudnya adalah dengan berdialog dengan diri sendiri untuk memetakan perasaan yang dialami dan mencari sudut pandang baru dalam melihat sesuatu. Sering kali, saat sikap pesimis muncul, semuanya terasa blur. Kayak…nyetir mobil di jalanan berkabut, udah nyalain foglamp, tapi tetep jarak pandangnya sangat dekat. Walaupun kita tahu tujuannya mau ke mana, tapi susah banget untuk jalan.

Ada cara yang kurasa cepat untuk menembus kabut itu, tidak dengan bergantung secara internal (maksudnya menguatkan keyakinan dalam diri untuk gas terooos wkwk), tetapi dengan melibatkan pihak eksternal. Kuharus punya navigator yang ikut serta dalam perjalanan. Navigator adalah orang yang sudah tahu medan yang akan dilalui, tahu apa saja yang akan menghambat, dan tahu kapan harus berhenti atau bahkan merekomendasikan jalan lain. Dia adalah sosok yang jam terbangnya sudah tinggi, sehingga saat dia ikut serta dalam perjalanan, kumerasa jauh lebih aman karena semua risiko bisa lebih terpetakan.

Rasa aman itu penting lho. Kalau diibaratkan, rasa aman itu ibarat perasaan kita tahu kalau rem mobil kita itu berfungsi. Supaya saat mau ngebut, kita tahu, kita pasti bisa ngerem tepat pada waktunya.

Makanya, kusangat bersyukur sekali bertemu dengan Ndorokakung dan Kang Motulz yang bersedia ikut serta jadi navigator dalam perjalanan kami. Apa yang ada di hadapan jadi lebih tidak menyeramkan, bahkan tantangan pun terasa lebih…menyenangkan. “Kok bisa?” Karena mereka meyakinkan kami kalau tantangan tersebut bisa diatasi. “Kok tahu bisa diatasi?” Mereka sudah pernah melewati berbagai tantangan terburuk dalam ranah yang kami kerjakan sehingga tahu apa yang harus diantisipasi. “Tantangan di zaman sekarang kan selalu berevolusi..” Maka dari itu, ngga akan selesai kalau cuma dihadapi sendiri~

17 Januari 2021 – Diskusi di Spiegel Bar & Bistro, Semarang.

Sebagai orang yang punya keinginan untuk bikin hal-hal yang bermanfaat, memiliki rekan yang punya segudang studi kasus yang bisa jadi acuan bahkan rekan yang serupa ensiklopedia berjalan, kumerasa yakin akan ada banyak gebrakan yang bisa kami ciptakan bersama. Selain itu, kuharap, kalaupun frekuensi nangisku di 2021 ternyata lebih sering, ada mereka yang (mudah-mudahan) bersedia mendengarkan, jadi ngga stres sendirian.. ya kaan!


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *