Terbangun. Kurasa-rasa, dingin dari jempol kaki hingga ke ubun-ubun. Kuingat-ingat, laki-laki, perempuan, perempuan, perempuan, perempuan, dan lalu aku, di ujung ruangan. Oh, kusedang menginap bersama teman.
Tadi, saat sebagian temanku menonton pertunjukan di layar kaca dan sebagian lainnya mempertontonkan pemikiran mereka, kumemilih terlelap untuk menonton siaran mimpi malam ini.
Tapi, rupanya tidak ada siaran mimpi malam ini.
Setelah kuterbangun, kumelamun. Tapi, rupanya tidak dapat pikiranku beranjak kemana-mana. Mereka dikekang dinding dingin yang melelap badanku yang tergeletak beku di ujung ruangan.
Selalu ada pilihan. Kali ini, antara menatap langit ciptaan Tuhan atau tetap menatap langit-langit tenda ciptaan tukang bangunan.
Keluar, harus. Kupakai kaos kaki panjang sebetis pemberian papa. Tak lupa, kukenakan keberanian. Mereka tumbuh subur karena pupuk kebijaksanaan dari beragam kejadian dan pertemuan yang berkesan.
Kubuka pintu. Kukeluarkan kakiku satu persatu, hingga tak ada bagian tubuhku yang tersisa di balik pintu.
Kuberanjak ke luar tenda dengan penuh harapan tidak berpapasan dengan siluman. Semoga mereka tetap di sana dengan wujud yang tidak kelihatan. Walau kutidak suka dengan kesendirian, ditemani siluman bukanlah pilihan yang menyenangkan. Selalu ada pengecualian.
Ke kiri atau ke kanan? Seharusnya ini tidak sesulit memilih keberpihakan pada rakyat atau pada yang punya hajat.
Akhirnya kupilih X.
X itu rahasia. Jangan tanya apa, mungkin kamu tidak sependapat dan kutidak suka berdebat.
Pukul empat pagi. Pantas gelap sekali.
Terdengar suara macam-macam saling bersahutan dari sana sini. Namun, tidak kudengar suara-suara dalam pikiranku sendiri. Padahal biasanya mereka bising bercengkrama saat kusedang shalat berjamaah. Aamiin. Bersama-sama.
Kembali kuingat rasanya dingin ketika angin berhembus pada leherku. Berkerudung hoodie saja cukup karena percaya tidak akan bertemu siapapun, orang-orang belum siuman, kecuali siluman.
Selalu ada pilihan. Kali ini, antara kembali ke ruangan atau lanjutkan? Lanjutkan, dan kuserahkan diri kepada ketidaktahuan. Tibalah di ujung empang.
Di permukaannya ada bulan numpang tampang. Tiba-tiba air beriak!
Ternyata empangnya banyak ikannya. Wajar sekali, pikirku. Ikannya pasti menggeliat kedinginan, sama sepertiku saat mengeringkan badan setelah mandi dengan air tadi. Iya tadi, sebelum kupergi keluar. Sebelum mengenakan kaos kaki.
Kutidak cerita? Sudahlah, tidak semua hal harus kautahu. Mungkin tadi bukan saat yang tepat, tapi sekarang sudah boleh. Karena kau sudah cukup lebih dewasa beberapa puluh detik dari saat pertama kaubaca tulisanku ini. Jadi, sudah saatnya kau untuk tahu: kalau aku mandi dini hari.
Padahal cuaca sangat dingin. Padahal ada pilihan untuk mencoba tidur kalau kuberani menyabotase selimut temanku. Tapi kutidaklakukan itu.
Kuserahkan diri kepada ketidaktahuan. Lalu, kuambil pilihan-pilihan masuk akal yang menyenangkan, menenangkan, membukakan pikiran. Menggenapkan.
Memangnya tidak boleh ganjil? Boleh juga.
Katanya Tuhanku menyenangi hal yang ganjil. Tetapi, tetap dia menciptakan makhluk untuk berpasang-pasangan. Nah kan.
Semua pilihan itu boleh dicoba. Asal siap dengan konsekuensinya.
Ya kan?
***
Terima kasih banyak kepada Naomi, Mba Mega, Vivi, Aul, dan Mas Paw yang telah menyertakanku pada perjalanan kalian yang sangat menyenangkan! Dan juga Emen untuk cerita hidupnya yang seru.
Lokasi: Legok Kondang, Ciwidey, Jawa Barat
Leave a Reply