Sejak 5 tahun lalu, KIBAR gak punya divisi Human Resource. Baru kemarenan aja akhir Januari akhirnya punya, soalnya di bawah KIBAR udah ada belasan perusahaan. Agak peer kalau gak punya.
Gimana caranya ngerekrut anak baru kalau gitu?
Dulu, Bro Yansen selalu ngetes anak yang mau diajak gabung. Jadi volunteer, salah satunya. Kalau ga dibayar aja kerjanya mati-matian, berarti dia ngeliat value KIBAR lebih dari sekadar uang, tetapi visinya. Saya salah satunya yang dulu direkrut via obrolan santai di Whatsapp, setelah beberapa bulan jadi volunteer. Gak ditanyain CV, dan sebaliknya, saya gak nanya soal gaji.
Tapi, karena makin sini makin banyak yang mau gabung KIBAR namun belum pernah ada sejarah kerja bareng, mau gak mau harus ada cara jitu untuk menyaring orang aring.
Pertama, kita minta CV untuk tahu kronologi pencapaian hidup dari tahun ke tahun sebagai titik awal kami menggali apa yang membentuk dia jadi seperti hari ini. Apakah dia melakukan sesuatu yang bermakna dalam hidupnya, ikut arus normal “anak harapan orang tua”, atau jadi anak mati-matian #panjatsosial, dan sebagainya.
Setelah itu, obrol santai tatap muka lekat-lekat. Agar lebih valid penilaiannya, Bro Yansen mau si calon Kibariyah ini ngobrol dengan beberapa anak KIBAR yang dirasa paling ngerti culture dan telah mengalami asam garam bekerja di KIBAR. Ngobrolnya super santai, kayak curhat ke teman TK. Teman TK? Iya, soalnya udah lama ga ketemu terus nanyainnya macem-macem dan ga inget sama mukanya juga.
Alasan utamanya kenapa harus ngobrol sama anak KIBAR adalah karena yang nanti kerja bareng kan kami-kami lagi. Kalau anaknya malesin, dari sana komunikasi gak lancar, ujungnya kerjaan bisa gak kelar, terus…gulung tikar…gak mungkin deng. Biasanya anaknya udah “hilang” duluan. Beneran hilang! Gak dipecat, hilang. Apalagi secara berkala, Bro Yansen selalu mengingatkan kami untuk resign. “KIBAR itu gak buat semua orang,” ujarnya.
Sebelum melenceng jadi bahas topik baru, mari kembali ke jalan yang benar.
Saya termasuk jadi anak KIBAR yang terpilih untuk jadi garda depan ngobrol santai tatap muka lekat-lekat ini. Dengan pasangan tandem ngobrol yang berbeda-beda (cuma berenam sih antara, Livana, Acu, Patrick, Joditha, atau Oliv), hingga hari ini jumlah calon Kibariyah udah jauh melewati jumlah dalmatian yang diburu oleh Cruella, banyak jenis manusia telah kami bedah pola pikirnya. Kami judge dari awal buka gerbang hitam bertuliskan Prof. Moh. Yamin No. 1.
Lalu, apa yang dipelajari?
1. Bisnis menyelundupkan orang buat dijual ke luar negeri itu sangat memungkinkan.
Gak banyak yang mencoba memahami atau sekadar mencukupi diri dengan pengetahuan tentang perusahaan yang ia lamar. Sebagian besar sudah cukup puas dengan kesimpulan yang ia tarik dari halaman pertama hasil penelusuran Google, tanpa melihat keaslian dari sumber. Sebagian lagi ada yang benar-benar tidak mencari tahu, tetapi berani datang tak tahu malu.
Ini bahaya loh. Siapa tahu, pas kamu datang ke kantor untuk interview, ternyata isinya orang jahat semua karena kamu gak baca artikel tentang mereka yang sebenernya sudah beredar di dunia maya.
Pastikan pengetahuan kita tentang perusahaan yang mau dilamar itu gak sama dengan pengetahuan abang-abang random yang lewat pinggir jalan terus diajakin masuk untuk interview.
Tapi ya, kalau nemu orang yang dia mau masuk KIBAR tapi nggak tahu apa-apa tentang KIBAR, saya gak ngerti, apa yang bikin dia terpanggil untuk daftar.
Belum ada jasa jin penjilat CV yang bikin orang mau daftar ke perusahaan gitu kan?
2. Ada orang yang tujuannya sama, tapi…lebih baik nggak pergi bareng kita.
Untuk bergabung, dia harus tau tujuan dari perusahaan tuh mau ke mana. Ibarat kita mau ke Kelapa Gading, eh dia mau jadi agamis (anak gaul Ciamis), kan udah pasti gak cocok tuh. Lebih baik jangan bareng. Nah, kalau ada yang udah tau nih, tujuannya sama, tetep aja ada hal-hal lainnya yang harus dipastikan. Dia mabok perjalanan atau engga, soalnya kita biasa ngebut dan pake bahu jalan, misalnya. Kan ga bisa kasih tebengan ke orang yang baru kita masukin gigi 3 aja udah langsung muntah. Gak kayak abang odong-odong yang bisa di-custom cara gowesnya karena se-odong-odong cuma dia yang naik.
3. Kalau punya anak, jangan kasih anak kita hidup yang kelewat enak.
Problem solving adalah skill yang harusnya diasah dengan praktik langsung. Sesulit apapun, semenyebalkan apapun, masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan. Bahkan, harus kuat dengan makian untuk kesalahan yang gak kamu lakukan karena kesalahan itu sebenarnya bisa dicegah kalau kamu peduli buat bantu temanmu sebelum kejadian itu jadi tragedi dan merugikan lebih banyak orang. Prinsipnya adalah harus jaga kapal biar bisa tetap berlayar, kalau ada satu lubang yang dirasa gak mungkin dibenerin dengan tenaga satu orang, ya harus kita bantuin sebelum Celine Dion nyanyi My Heart Will Go On.
Makanya, waktu menemui manusia yang mengaku bahwa kegagalan terbesarnya adalah IP yang sempet turun di luar ekspektasi, kami percaya, kalau masuk KIBAR, dia gak mungkin bertahan lama.
4. Don’t work with people who don’t see the value.
KIBAR ada dengan misi utama untuk bikin semua orang di Indonesia harus bisa makan. Untuk melakukan hal itu, cara paling strategis yang KIBAR lakukan adalah bukan dengan bagi-bagi sembako atau bikin sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan, tetapi dengan membina anak mudanya untuk bikin startup yang jadi solusi bagi banyak orang. Dari sana, akan ada lebih banyak lapangan kerja dan juga role model untuk anak muda lainnya ikut berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan!
Gambaran lebih besarnya (yang kadang kebanyakan orang langsung nge-hang tiap denger ini), KIBAR adalah tech-startup ecosystem builder. NAHLOH! Tiap jelasin ini tuh awalnya saya pusing juga. Singkatnya…nanti lagi aja deh jelasinnya, siapa tahu kamu gak mau tahu juga.
Setiap orang pasti punya pandangan yang berbeda-beda tentang KIBAR. Buat saya, KIBAR tuh ibarat bahtera Nabi Nuh. Makanya, saya bisa giat bekerja seharian dan semalaman penuh. Hal sesimpel bikin email reminder datang ke workshop aja, menurut saya, bisa mengubah dunia! Bayangkan yang teryakinkan oleh email itu adalah calon B.J. Habibie selanjutnya.
Btw, Bro Yansen itu mau semua anak KIBAR bikin startup setelah 2 tahun ditempa ngerjain berbagai hal dan diamanahi beragam tanggung jawab. Terserah mau bikin apapun di atasnya KIBAR! Semuanya bisa, kalau kamu percaya hal yang sama.
Tapi, kalau ada orang yang melihat KIBAR hanya untuk tempat cari uang aja, yaaa itu mah di perusahaan lain juga bisa, ga usah capek-capek masuk KIBAR.
5. Semesta punya CCTV di mana-mana, selalu berbuat baik pada sesama karena karma itu nyata.
Kami diajarkan untuk selalu menilai dan cari tahu semua alasan di balik segala tindak tanduk yang seseorang lakukan, sekecil apapun itu, bahkan dari hal yang ia tidak sengaja. Sekali waktu, kami pernah kedatangan seorang manusia yang tidak baik. Mulai dari interaksi awal pada teman saya yang duduk di meja selonjor untuk menanyakan “ini kantor KIBAR?”, sampai dia duduk di meja rujak lalu bertanya wi-fi dengan cara yang bikin orang ditanya tuh pengen cabut kabel wi-fi-nya biar dia gak bisa pake, tuh, udah ketahuan ini orang bisa merusak tatanan tata surya. Pokoknya attitude-nya kayak bekas luka yang belum kering terus dikorek pake kuku. Melihat hal itu, langsung saya beritahu pertanda kiamat kecil pada anak-anak KIBAR yang akan berinteraksi dengan jelmaan manusia ini. “Gak usah diajakin tur keliling KIBAR, Bil. Ini orang udah pasti bawa hal negatif ke anak-anak, langsung interview aja singkat.”
Eh tapi karena Cybill anaknya baik hati bagai Bawang Putih, dia ajak keliling si Piet Hitam ini. Begitu beres, Cybill berubah jadi Bawang Merah dicabein!
Singkat cerita, manusia yang tidak baik ini jadi pemegang rekor interview tercepat di sejarah KIBAR.
Attitude adalah hal paling krusial dan dijunjung tinggi di KIBAR. Kalau bakalan membawa ke-negatif-an, sejago apapun anaknya, harus cepat dibuang sebelum menginfeksi yang lain. Negatif itu tuh misalnya suka ngomongin orang di belakang, suka mengeluh, gak mau ngaku kalau salah, lempar tanggung jawab, dan yang paling parah: cuma mau ngerjain kerjaan punya sendiri, gak ada inisiatif bantuin teman lain.
Semoga kita dijauhkan dari orang sedemikian, ya.
Hal paling dasar yang menunjukkan kamu punya peluang jadi Kibariyah adalah kalau kamu punya sifat “peduli”. Ini adalah satu hal yang Bro Yansen tekankan pada kami berkali-kali.
6. Harus punya role model, baik itu yang diidolakan, maupun yang dibenci setengah mati.
Ini termasuk hal paling penting nih. Kenapa? Dengan punya role model, setidaknya, walau kamu belum punya rencana hidup yang matang, kamu tahu siapa yang ingin kamu lampaui di kemudian hari. Bahkan, kamu gak harus repot buka dan milih jalan sendiri. Tinggal pelajari what works dan doesn’t work di hidupnya orang-orang tersebut, lalu lakukan dengan lebih baik! Supaya gak ada lagi kejadian “penak jamanku to?”
Eh, btw, itu beneran loh, harus punya role model untuk dibenci. Mumpung masih muda dan idealismenya tinggi, kita harus bisa mendefinisikan kita gak mau jadi kayak siapa. Saya yakin, orang yang sekarang jadi koruptor itu gak pernah kepikiran waktu SD buat nulis cita-cita jadi koruptor. Makanya, selagi waras harus camkan batas.
Sempat beberapa kali bertemu dengan orang yang gak punya role model. Mana mereka masih belum punya rencana juga untuk hidup mereka di tahun-tahun mendatang. Kalau kamu salah satunya dari mereka, tetap tenang! Tarik nafas, lalu pergi ke toko buku dan beli “Seri Tokoh Dunia”. Eh, karena sekarang kita berada di zaman digital, cukup tonton TED.com dan rasakan manfaatnya. Buat yang lebih suka baca, sikat habis bacaan di Ziliun.com aja.
7. Bagaimana kamu berbagi di linimasa media sosialmu ternyata menentukan arah bangsa!
Orang bilang pendidikan itu krusial bagi kemaslahatan bangsa. Ketika suatu bangsa memiliki tingkat pendidikan yang dibilang jongkok, semua berbondong-bondong menyalahkan pemerintah. Yaa, mau nyalahin juga gapapa sih, cuma artinya kita dengan Siamang yang di kebun binatang itu gak ada bedanya. Cuma teriak-teriak doang. Bedanya Siamang tuh udah tergolong langka, kalau kita…ya, kalau hilang, paling diganti lah dengan mereka yang IP atau sekolah-nya lebih tinggi.
Saya tuh gak cocok jadi komentator bola. Bukan karena ga ngerti serunya main bola tuh apa, tapi karena kebanyakan yang saya pernah dengar tuh yang semacam “sayang sekali bung, umpan yang tidak dimanfaatkan dengan baik,” atau “seharusnya si A melihat peluang untuk mencetak gol saat kecerobohan dilakukan oleh penjaga gawang,” tuh, suka bikin kesel gitu. Komentarnya tidak mengubah apapun kecuali nambah emosi penonton yang tim-nya di-dzalimi.
Fokus sama hal yang berada dalam kontrol kita, jangan habiskan waktu untuk merapikan hal yang tak terjangkau tangan.
Pendidikan bukanlah satu-satunya cara mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut saya, media sosial juga memiliki andil yang cukup signifikan. Berapa banyak keputusan yang kita ambil berdasarkan komentar atau tren yang ada di media sosial? Mungkin simpel, tapi media sosial itu bisa memicu pada groupthink. Begitu kuatnya, apa yang salah, bisa jadi terlihat benar hanya karena semua orang satu suara menyuarakan yang salah.
Di media sosial, kita dapat dengan bebas mengkurasi, konten mana saja hal yang layak untuk konsumsi publik dan mana yang lebih cocok disimpan sendiri. Dari sana, kita bisa melihat, mana yang mendahulukan kemaslahatan bersama dan mana yang suka buang sampah sembarangan. Jadi, apa kamu ikutan dalam aksi mewujudkan Indonesia bebas sampah?
Mau gak mau, harusnya ikutan sih, apalagi sekarang rata-rata perusahaan itu melakukan double check dari orang yang di-interview. Perlu digarisbawahi, ini bukan tentang menentang kebebasan berpendapat, tetapi tentang merayakan kebebasan memilih yang lebih baik dari opsi yang ada.
—
Itu lah kira-kira pelajaran hidup setelah saya melewati ratusan ngobrol tatap muka lekat-lekat sama calon anak KIBAR. Walau dibahas dengan gaya sedikit bar-bar, tetapi semoga after taste-nya tidak hambar.
Senang bisa dipilih dalam garda depan karena dari sini kayak punya akses eksklusif pada masa lalu seseorang! Berasa dapat cheat sheet atau walkthrough dalam mengarungi lika-liku kehidupan, ibarat main The Sims gitu! Dari belasan orang saya belajar kalau motherlode bukan lah segalanya.
Sensasi setiap sebuah obrolan usai itu sama rasanya seperti baru keluar nonton bioskop film action thriller yang isinya banyak pembantaian manusia.
“Saya masih hidup loh. Habis ini saya mau ngapain, ya?”
Gitu.
Leave a Reply