Tentang Rutinitas

Hola!

Sejak lulus dari sidang tugas akhir hidup-hidup dan baru saja Sabtu kemarin menjalani prosesi wisuda, saya memiliki rutinitas baru, yang kadang bikin bingung. Rutinitasnya adalah… menentukan kegiatan terbaik apa yang mau saya lakukan hari ini. Saya termasuk orang yang suka melihat suatu hal itu benar untuk dilakukan jika hal tersebut membawa manfaat. Tapi… perasaan dulu saya orangnya gak kayak gitu sih pas SMP. Gara-gara insiden gak masuk SMA yang diinginkan lah yang memacu perubahan ini. Sempat mikir lebay kayak, hidup ini gak adil. Lama-lama jadi mikir, kalau gitu sih tinggal kita aja mau jadi pembawa keadilan atau enggak, ya gak? Brb, ganti kostum wonderwoman. Gak deng, belum nyewa kostumnya. Terlebih lagi, gak bagus kalau kostum wonderwoman dipakai bersama manset panjang. Bukan kodratnya.

Intinya, saya berubah jadi orang yang memastikan hidup di dunia tuh gak sekadar hidup aja. Kalau kata Buya Hamka, “Jika hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Jika bekerja hanya sekedar bekerja, kera juga bekerja”. Lama-lama, setelah ditempa dengan berbagai macam kenyataan yang saya hadapi selama di dunia perkuliahan dan berkemahasiswaan, saya bertekad mau menjadi seseorang yang tidak cuma concern ke keberlangsungan hidup diri sendiri dan keluarga saja, tapi membawa sebesar-besarnya manfaat untuk kemajuan bangsa!

Kembali ke topik tentang rutinitas. Ada peribahasa “rumput tetangga itu selalu lebih hijau daripada rumput di pekarangan sendiri”. Awalnya sih males buat meng-iya-kan filosofi di baliknya, tapi lama-lama eh lama-lama, saya terima juga dan bahkan saya mau pastikan kalau rumput tetangga harus selalu lebih hijau! Kenapa? Biar saya tambah rajin urus rumput di pekarangan saya sendiri setiap hari.

Tapi, sekarang tetangga saya udah mulai pada pindah, balik ke rumahnya yang dulu. Rumah sebelah masih belum ada penghuninya. Kalau saya lagi beres-beres pekarangan, harus ngobrol sama siapa, dong?

Oke, sebelum perumputan ini dibahas lebih jauh ke masalah cara memberi pupuk dan berapa banyak air yang digunakan untuk membuat rumput tumbuh sebagaimana harusnya, saya harus klarifikasi kalau dalam konteks ini saya membahas tentang saya, teman-teman saya, dan rutinitas yang kami jalani bersama.

Biasanya, saya selalu bersama teman-teman saat mengerjakan tugas atau belajar. Kalaupun ada waktu-waktu tertentu untuk belajar sendiri, nantinya pasti akan selalu dibahas bersama teman-teman. Sekarang, saat udah beda rutinitas, terus gimana? Gimana caranya buat tahu sudah sejauh apa progress yang kamu lakukan dalam hidup saat tujuan hidup kamu dan temanmu sudah beda-beda? Kalau masih kuliah kan biasanya tuh ada yang orientasinya ke akademik, organisasi mahasiswa, prestasi dari lomba-lomba, atau mencari imam untuk setiap shalat berjamaah (bagi yang perempuan) kan. Nah, sekarang, harus benchmarking ke mana, ke siapa?

Untuk menyiasati hal itu, saya mencari suatu kesamaan yang saya rasa bisa saya ikuti dari teman-teman saya. Sesuatu yang bisa membuat saya bisa tahu sudah sejauh apa progress yang saya lakukan. Sederhana aja, mereka punya jadwal! Entah itu jadwal kerja atau jadwal nonton TV series favorit mereka.

Hahaha gak penting, ya? Tapi ini adalah pencerahan buat saya. Rutinitas udah beda, ya mau diapain lagi. Harus cari arah hidup sendiri. Ya, sebagian orang dewasa pasti berkata seperti ini, yang menurut saya basi. Tahunya, basi-basi malah jadi yogurt. Apalagi kalau jadinya yogurt rasa strawberry, enak.

Sebenarnya, yang membebani saya dalam menentukan kegiatan apa yang harus saya lakukan itu biasanya terhambat karena saya membandingkan apa opportunity cost dari kegiatan yang akan saya lakukan. Apa yang harus saya relakan saat jam 9-10 itu saya habiskan untuk yoga, apa yang harus saya relakan saat saya lebih memilih untuk membuat summary dari suatu artikel daripada membuat postingan baru di blog saya, dan seterusnya. Merasionalisasi kapan saya harus memilih sebuah pilihan kegiatan yang lebih besar manfaatnya tidak hanya untuk saya tetapi juga orang-orang di sekitar saya dan kapan saya harus memilih kegiatan yang memang terlihat tidak penting tapi saya butuhkan, misalnya spa. Iya, kegiatan yang didominasi oleh tengkurep sambil dipijitin di ruangan wangi aromaterapi itu. Biasanya, saya langsung dapat banyak ide dari sana. Soalnya job desc utamanya adalah terima aja mau diapain, dan gak boleh ngapa-ngapain. Jadi ada banyak waktu untuk berbincang dengan diri sendiri tanpa distraksi deh. Kecuali waktu dipijit bagian kaki. Geli. Susah banget tuh menahan refleks buat gak nendang.

Dengan punya jadwal, gak perlu lagi mikirin berkali-kali apakah ini kegiatan yang tepat untuk dilakukan karena sudah dipikirkan sebelumnya kalau ini adalah kegiatan yang tepat untuk dilakukan, dan sudah ada porsinya masing-masing untuk kegiatan yang akan dilakukan di hari itu. Membuat kita jadi lebih tenang karena udah tau gambaran besarnya, apa aja yang mau dicapai hari itu. Selanjutnya, kalau udah punya jadwal, ya, jangan overthinking, cepet kerjain.

Oh iya, in case you’re wondering, betul sekali, foto di postingan ini adalah foto jadwal saya! Di plan untuk dilakukan selama 2 minggu ke depan. Gak kok, bukan buat satu semester. Udah lulus, hajat hidupnya gak ditentuin dari kalender akademik semesteran. Tuliskan hashtag “#belagu” di sini. Padahal sempat galau gara-gara udah 16 tahun hidupnya selalu terjadwal, terus harus bikin jadwal sendiri. Iya, jadwal pelajaran atau jadwal mata kuliah, you name it.

Tetapi, ada satu hal yang sempat terlintas di pikiran saya tentang jadwal menjadwal, menentukan rutinitas dari pilihan aktivitas yang mau kita jalankan. Semua yang mau kita capai di masa depan, itu dibentuk dari hari ini. Salah pilih, bisa bikin salah masa depan. Ibarat Nobita itu harusnya nikah sama Shizuka, bisa tiba-tiba sama Jaiko. Pas kamu sekolah, bisa aja kamu dan temen-temen kamu itu mendapatkan nilai yang sama sempurna atau sama jebloknya. Kalau sama-sama jeblok, gak ada yang bagus sama sekali, bisa bilang aja itu salah kurikulum. Tapi, abis lulus, gak ada lagi tuh namanya nyalahin kurikulum (walaupun blaming itu menurut saya bukan tindakan yang baik, sih, dari sisi mana pun). Dunia menuntut kamu untuk menjadi orang yang bisa melakukan tugasmu sebaik-baiknya, terlepas dari siapa kamu dan apa latar belakangmu.

Sebagai penutup, patung pancoran yang di Jakarta aja nggak tiba-tiba jadi patung pancoran yang kok, asalnya dari batu. Pematungnya pengen bikin batu itu jadi patung pancoran. Tiap hari, batunya dipahat biar berbentuk jadi patung yang sekarang jadi patung pancoran. Akhirnya, jadi deh kayak sekarang ini, jadi patung pancoran.

Silakan direnungkan, kalau ada yang nggak ngerti, jangan tanya saya, ya.

P.S. Tiba-tiba bikin penjadwalan ini ini terinspirasi dari Abdullah Fikri Ismanto yang lagi magang di Perum Produksi Film Negara. Gak sengaja lihat sticky notes di laptopnya pas kemarin berkunjung ke kosannya bareng sama pujaan hatinya Abdullah, Intania.

***

Oh iya, btw beberapa bulan terakhir ini saya punya kebiasaan baru yang saya jadikan sebuah kewajiban, yaitu share artikel menarik plus tambahan review dari saya di timeline LINE. Kenapa? Saya rasa, di tengah arus informasi yang kerannya terbuka dari mana-mana, yang dibutuhkan sekarang adalah sortir kontennya. Mana yang relevan, mana yang penting, dan mana yang harus kita pelajari. Intinya, pintar-pintar pilih bacaan yang memberikan added-value setelah kita tahu isi informasinya. Kalau mau baca artikel menarik apa aja yang saya share, feel free to add my LINE ID: dh25ila!


Posted

in

by

Comments

4 responses to “Tentang Rutinitas”

  1. feelfreeworld Avatar

    Nice one, Dhila! 🙂

  2.  Avatar
    Anonymous

    Selamat menjalani hari baru pasca lulus dari kampus gajah :))

  3. Pekerja magang Produksi Film Negara Avatar

    Awalnya gw baca tadi pagi tapi baru awal dah bosen. Trus tadi sore lagi chat sama bang bos marketing perusahaan transportasi kece cabang bandung, dia bilang ada gw ditulisan ini. Wah ternyata benar. Senang bisa meinginspirasi mu nak.

    Oh ya. Kantor saya itu salah penulisanya. Harusnya Perum Produksi Film Negara. Bukan perusahaan film negara ya tolong dikoreksi.

    Terimakasih

    1. Dhila Avatar

      Siap, Bang! Mohon maaf sebesar-besarnya atas kekeliruannya. Semoga lancar magangnya, ya, Bang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *