Apa “Mengapa” Kita?

Untuk memulai membuat bisnis itu sangatlah mudah. Ide bisa datang dari mana saja. Lagi tiduran di rumah, terus kamar adik lagi kosong satu minggu, soalnya dia lagi kemping, bisa deh tuh dibikin kos-kosan (kos-kosan apa coba yang satu minggu). Rumah saya deket kampus, pasti banyak yang butuh tuh.

Saya suka desain grafis dan seneng bikin kayak poster gitu-gitu, kenapa nggak bikin kartu ucapan juga sekalian buat dijual? Apalagi sekarang banyak banget yang pengen bikin kartu ucapan yang personalized, yang beda dari yang biasanya ada di toko-toko.

Mudah kan buat bikin bisnis?

Iya, sampai-sampai saya dan dua teman saya, Nea dan Evita, bersemangat dan optimis saat kami diajak untuk mengikuti program inkubasi bisnis yang diinisiasi oleh Kibar. Program membangun sebuah bisnis startup ini berlangsung dalam waktu kurang dari seminggu, hanya lima hari saja! Kami rasa, dengan pengalaman kami selama berkuliah di jurusan manajemen, untuk bikin business plan, apa lagi cuma inti-intinya saja untuk dipresentasikan, satu hari saja sudah cukup. Apalagi kami sudah tahu bisnis apa yang akan kami buat.

Tetapi, pandangan saya berubah setelah pikiran saya diacak-acak, terus dirapiin, dan diformat ulang, selama saya ikutan program ini. Dalam waktu lima hari, dari tiga ide bisnis yang kami ajukan, nggak ada yang diterima, dan kalian tahu mengapa? Bukan karena business model yang kurang lengkap penjabarannya, atau hitung-hitungan profit-nya nggak rasional, melainkan sesimpel karena kami nggak tahu kenapa kami buat bisnis itu. Ya, nggak tahu mengapa dari semua pilihan bisnis yang ada di dunia ini, bisnis tersebut yang kami pilih.

Sebenarnya, dengan ide bisnis dan alasan yang kami punyai mengapa kami membuat bisnis itu sudah terjawab karena memang adanya market yang membutuhkan, kami bisa memfasilitasi keinginan market tersebut, dan kami memang memiliki passion pada bisnis di bidang itu. Kami yakin dengan tiga alasan itu semua sudah cukup.

Namun, rupanya tidak cukup untuk Kibar. Mereka memercayai kalau membuat atau memutuskan sesuatu, entah dalam kegiatan sehari-hari, bisnis, atau bahkan menulis, seperti yang saya lakukan sekarang ini, harus bisa menciptakan dampak. Dampak itu adalah alasan mengapa kita mau melakukan hal tersebut.

Coba kita lihat tayangan-tayangan yang ada di pertelevisian Indonesia, terutama sinetron. Seberapa banyak yang berkualitas? Seberapa banyak yang kalau ditonton bisa membuat kita lebih pintar? Seberapa banyak yang mengajak kita kepada pola pikir dan mental yang lebih baik, simpelnya saja, tidak menjerumuskan? Kalau melihat banyaknya kecaman yang ada di sosial media, bahkan sampai ada petisi untuk menghentikan sebuah tayangan di salah satu stasiun televisi, sepertinya jumlahnya tidak banyak, setuju nggak? Atau pernah ikutan komplain juga di Twitter? Saya malah pernah hampir mau bikin kultwit di Twitter tentang kesesatan-kesesatan berpikir yang ada dalam beberapa dialog dan adegan di sebuah sinetron. Rasa-rasanya, pengen saya bawa tuh si penulis skenarionya ke kuliah Logika dan Berpikir Kritis, tapi sayangnya kuliah itu adanya di semester depannya lagi, haha.

Tapi, Dennis Adishwara bilang, komplain aja nggak cukup, komplain itu nggak menyelesaikan masalah. Kecuali komplain ke Speedy, komplain ini kenapa internet rumah saya gak jalan, dan teknisinya langsung sigap dateng benerin ke rumah. Tapi kok ini teknisinya belum dateng juga, ya, btw?

Kalau udah tau sinetron itu gak bagus, kenapa masih diem aja membiarkan tayangan gak jelas merajalela? Dengan alasan itu, Dennis mendirikan Layaria. Dia ingin masyarakat Indonesia untuk menonton dan membuat tontonan yang lebih berkualitas, nggak cuma menerima saja tontonan yang ada.

Selain Layaria, di Kibar juga ada Kreavi, ada Ziliun. Mereka semua memulai segala sesuatunya dari purpose yang besar. Founder Kreavi, Benny Fajarai, ingin membuktikan bagaimana desain bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Putri Izzati, menghadirkan Ziliun, dengan semboyan “Rombak Pola Pikir“-nya. Kalian harus buka deh websitenya! Mata kalian akan terbelalak! Hati-hati kesenggol lalat.

Bayangkan, dengan purpose Kreavi tersebut, alasan para desainer yang sign up di situs Kreavi tidak hanya sekedar memajang portofolio desain saja. Karena untuk sekedar memajang portofolio desain, sudah ada Behance yang sudah lebih dikenal orang. Mereka yang percaya dengan visi Kreavi akan bergabung dengan Kreavi untuk bersama mewujudkan bagaimana desain bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik!

Dengan purpose yang besar, visi yang besar, not only you who stand for your vision, but others who share the same belief with you will also stand together defending that vision.

Hari ke-3Ini foto pas hari ketiga. Lagi nyerah senyerah-nyerahnya, sampai makanan dianggurin gitu. Gak deng. Tapi keliatan lah ya dari muka, ada beban hidup remaja masa kini.

Jadilah, Nea, Evita, dan saya, selama 5 hari itu, bolak-balik menyusuri jalanan Menteng-Bekasi (Menteng itu lokasi kantor Kibar, Bekasi itu rumah Evita, tempat Nea dan saya menginap, titip badan) mencari jawaban atas “mengapa”. Selama 5 hari itu, kami belajar sangat banyak, padahal nggak diajarin banyak-banyak. Yansen Kamto, CEO Kibar, emang pengen kami buat menemukan jalan sendiri, nggak dituntun terus. Begitu mau masuk ke jurang, baru diselamatkan. Tapi kayaknya, dari kemarin kami hobinya bungee jumping gitu deh, ahahaha.

Tuntunan utama kami adalah Why, How, What.

Hm, buat contohnya, saya ambil Simon Sinek deh, salah satu pembicara TED yang terkeren (beneran, deh!), yang speech-nya sampai dibikin buku “Start with Why”. Coba bandingkan:

“We make great computers.
They’re beautifully designed, simple to use and user-friendly.
Wanna buy one?”

dan

“Everything we do, we believe in challenging the status quo. We believe in thinking differently.
The way we challenge the status quo is by making our products beautifully designed, simple to use, and user friendly.
And we happen to make great computers.
Wanna buy one?”

Kalian pasti tahu perusahaan apa yang dijadikan contoh oleh Simon Sinek. Ya, Apple. Paragraf pertama itu kalau Apple misalnya mulai mendefinisikan perusahaan mereka dari What dan How. Nyatanya, Apple mendefinisikan perusahaan mereka mulai dari Why, How, What. Sekarang, silakan bandingkan sendiri Apple dengan perusahaan komputer lainnya. Saya tau, laptop yang bagus tuh ada banyak, yang speknya lebih bagus dari MacBook tuh banyak. Tapi, saya akhirnya pilih Apple karena “value” mereka. Bukan value maksudnya harga yang mahal ya, tapi value yang maksudnya beliefapa yang mereka percayai.

Menurut Ko Yansen, orang tuh kebanyakan cuma tau apa yang mereka lakukan tapi nggak tau mengapa mereka melakukannya, apa yang menjadi tujuan mereka. Berkali-kali, Ko Yansen menekankan pada kami untuk menjadi seorang pengusaha yang berguna, yang menciptakan dampak.

“While a lot of people want to be successful, I choose to be useful. I always believe that the world would be a much better place if everyone want to be useful for others. To be successful is always about yourself, but being useful is always about people.”

– Yansen Kamto

Beneran deh, pengalaman lima hari kemarin di Kibar tuh mengubah sudut pandang yang saya tangkap selama saya belajar tentang bisnis. Masuk ke dalam nominasi lima hari terkeren dalam hidup saya deh pokoknya! Saya udah pernah masuk ke sarang orang-orang keren kreatif super inspiratif gitu. Diskusi, pitching ide, jabarin business model, habis itu dapet feedback langsung dari mereka. Walaupun kena gempuran berkali-kali, tapi kami dibantuin berdiri lagi. Kami dituntut untuk jadi, ibaratnya, mainan balon bentuk orang atau tokoh kartun yang kalau dipukul langsung balik berdiri lagi gitu. Baru gak balik lagi kalau ketusuk peniti.

Akhirnya, sekarang saya tahu “mengapa”.


Posted

in

by

Comments

3 responses to “Apa “Mengapa” Kita?”

  1. sekar mekar Avatar
    sekar mekar

    dhila tulisannya keren!

  2. Abdul Avatar
    Abdul

    Ditunggu launchingnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *