Manfy

Pekerjaan menampar belum banyak dimiliki orang pada saat itu. Tepatnya, baru satu orang yang memiliki jenis pekerjaan yang hampir serupa dengan pembunuh bayaran ini. Bedanya, korban tidak akan mati. Hanya membengkak saja di bagian yang tertampar. Bagi Manfy, inilah satu-satunya hal yang dapat membengkakkan dompetnya. Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak lima tahun yang lalu. Dari hobi, bisa dijadikan pekerjaan tetap. Bayangkan, betapa menyenangkannya hidup orang-orang yang bisa mengubah hobi menjadi sesuatu yang menghasilkan uang!

Kembali ke lima tahun silam, Manfy sedang duduk di bangku SMA, berseragam putih merah. Jangan tanya kenapa, sekolah Manfy adalah sekolah swasta. Suka-suka penguasa sekolah saja lah, walaupun ungkapan masa putih abu jadi tidak akan pernah ada dalam kamus mereka yang tidak memakai seragam putih abu. Tak apa lah, cinta sama negara. Negara Polandia.

Setiap jam 8 pagi, wajah Manfy sudah menempel di atas meja, tertidur pulas. Kadang menghadap kiri, kadang menghadap kanan. Kadang ia mendengkur sangat keras sampai membuat teman-temannya merasa… iri. Dari semua murid yang tertidur di kelas, hanya Manfy lah yang tidak pernah ditegur oleh guru. Tidak ada yang berani.

Pernah sekali waktu, guru PPL yang berasal dari universitas terbaik sekitar situ, menegur Manfy yang sedang tidur. Sepertinya guru PPL yang memiliki nyali untuk menegur Manfy ini tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Sepertinya guru PPL yang menegur Manfy yang sedang tidur ini tidak mengikuti briefing yang dipimpin kepala sekolah tempo hari. Setelah di cek, ternyata guru PPL ini melewatkan briefing karena sedang berbelanja celana bahan di Pasar Baru. Untuk dipakai mengajar, katanya.

“Hei, kamu! Bangun!” sambil mengguncangkan tangan Manfy. Anak satu kelas langsung bergidik ngeri. “Kelam sekali masa depan Bapak ini dalam beberapa detik lagi!” bisik anak perempuan yang duduk di pojok kanan kelas kepada anak perempuan yang duduk di pojok kiri kelas. Satu kelas mendengar bisikan itu yang ternyata bukan bisik-bisik. Bapak guru PPL juga mendengar bisikan itu yang ternyata bukan bisik-bisik.

Bersiaga, dia mundur beberapa langkah, tapi sebelum sempat disebut beberapa, Manfy terbangun, matanya yang merah karena kurang tidur melotot tajam. Tangan kanan Manfy yang tadinya berada di dekat pantat kanan Manfy sekarang mendarat keras di pipi kiri bapak guru PPL. “PLAK!” bunyinya, disertai beberapa bunyi keras setelahnya, “PRANG! PRANG! BRUK!” Seketika bapak guru PPL ini melakukan perjalanan yang lebih cepat dari teleportasi. Teleportasi yang kurang sempurna, tidak seluruhnya ikut berpindah tempat. Celana bahan yang baru ia beli di Pasar Baru, masih tetap berada di tempat terakhir ia berpijak. Bagai peluru yang keluar cepat dari selongsongnya, dengan celana yang ibaratnya selongsong, dan badan guru PPL adalah pelurunya.

Saat itu, saat bapak guru PPL ini menyadari kejadian saat itu, dalam keadaan terduduk setelah membentur tembok dua kelas yang berada bersebelahan dari kelas yang ia ajar sebelumnya, hanya bisa membisu. Menyesal. Mengapa ia tak membeli ikat pinggang baru di Pasar Baru waktu itu.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *