Ekskursi, Bukan Eks-Kursi, Bekas Kursi: Part 6

Setelah Kak Samir selesai dengan urusan kamar mandi, ada obrolan lagi antara Kak Samir dan Pak Deni. Saya merasa tidak ada kewajiban ngobrol lagi, deh. Saya lebih suka memperhatikan daripada berbicara. Jadi, saya ngeliatin anaknya Pak Deni aja, deh!

Anaknya ini lucu banget, matanya besar, pipinya gembil, rambutnya sedikit bergelombang. Masuk ke dalam tipe anak yang aman, nggak ke tipe pengen dilempar. Serem, ya? Soalnya ada tipe anak kecil yang kalau aku liat kok mukanya nyebelin banget, pengen dijahatin gitu. Biasanya kalau mukanya nyebelin ini sebanding dengan kelakuannya, nakal banget, suka teriak-teriak, dan cari gara-gara sama saya. Tapi, anaknya Pak Deni ini lucu! Pas bapaknya lagi ngobrol, dia main ciluk ba gitu sama saya. Muncul dan sembunyi dari sebelah badan bapaknya. Terus dia sambil makan kacang. Penasaran deh, kalau mulutnya dipenuhin kacang mukanya jadi kayak gimana.

Kembali ke pengamatan saya terhadap perbincangan dua lelaki yang usianya ternyata hanya terpaut satu tahun ini. Pak Deni curhat kalau dia dulu ikutan UMPTN (sekarang SBMPTN) pengen masuk ITB atau Unpad. Sayangnya, ya karena otak bodoh, nggak masuk deh. Pak Deni beneran ngomong kayak gitu. Untungnya lagi ngobrolnya sama Kak Samir, saya nggak perlu nimpalin deh. Bingung kan mau nimpalin apa juga. Nah, akhirnya Pak Deni ini meneruskan sekolah yang buat jadi polisi gitu, lupa namanya apa. Pantes aja, gaya berbicara dan pola pikirnya agak beda dengan orang-orang lain di desa ini. Beliau cenderung kritis dalam menyikapi permasalahan yang ada di desa. Misalnya, sebenarnya hutan-hutan desa di sini itu banyak banget diambilin kayunya. Dari luarnya saya terlihat rimbun, tetapi kalau masuk ke tengah, gundul! Tetapi, sulit untuk ditindak, soalnya kasihan, kayunya itu buat bangun rumah, bukan buat dijualin gitu. “Mau gimana lagi”, ujar Pak Deni.

Sudah jam lima sore dan sepertinya akan turun hujan. Kami pamit untuk pulang.

Di perjalanan pulang, ada lumayan banyak warga, sekitar sepuluh orang, nongkrong di warung yang terletak di jalur kami pulang. Mereka lagi ngobrol sambil minum kopi. Seperti biasa, saya mengucapkan kata sakti untuk mengundang keramahan dari warga desa karena telah menghormati teritori mereka. “Punten, Bu, Pak!” Langsung lah disamber dengan kata “mangga, mangga… sini dulu atuh, ngopi..”

Begitu sampai rumah, kok laper banget ya? Makan siangnya mana nih? Terakhir saya lihat ibunya masak itu jam 2, sehabis saya pulang dari kecamatan. Dan lauk yang harus dimasak Ibu Lilis ini masih banyak. Tahunya, jam 12 itu udah dimasakin makan siang. Yang saya lihat jam 2 itu makanan buat nanti malam! Meeen, mengapa ini terjadi! Akhirnya langsung ambil makan sih, soalnya ada yang udah disajikan. Makan deh. Seperti biasa, ayam gorengnya mantap sekali!

Malam harinya setelah mandi, saya, Evita, Erina, dan Devina, ngobrol di lantai atas. Obrolannya tentang apa? Tentang bau badan. Siapa yang wangi alaminya beneran wangi di angkatan. Tapi kami nggak ngobrolin siapa yang bau kok, cuma berkeluh kesah aja, kenapa masih ada yang nggak sadar kalau kebersihan tubuh itu harus diimbangi dengan wangi tubuh yang mendukung. Bau badan itu nggak banget deh, cyin.

Terus, yang asyik malam ini adalah saya makan lagi! Makannya tanpa ada pikiran bakalan sakit perut lagi, soalnya isi perutnya udah dikosongkan di Posyandu. Haha! Nggak usah makan dikit-dikit lagi deh.

Seusai makan, Gorija menunjukkan kebolehannya bermain sulap kartu. Ternyata badan besar itu tidak dapat menentukan kelincahan tangan seseorang. Bravo, Gorija.

Esok harinya, saya bangun cepat-cepat, mengincar giliran mandi di awal-awal. Sebelum mandi, shalat subuh berjamaah dulu di musala, bareng Gorija, Parjo, dan Kak Samir. Harusnya saya dan Gorija udah siap shalat jam setengah enam. Nungguin Parjo dan Kak Samir ini yang bikin ngaret setengah jam. Yakali, shalat subuh berjamaah jam 6. Namun, hal ini benar-benar terjadi.

Saya termasuk dalam golongan orang yang packingnya semudah membalikkan telapak tangan. Soalnya barang-barang dalam tas sehabis dikeluarkan atau digunakan, pasti langsung masuk tas lagi setelahnya. Seperti manusia, diciptakan dari bumi, akan kembali lagi ke bumi. Lagi-lagi asosiasi yang tidak asosiatif. Dhila, Dhila. Intinya,nggak khawatir bakal ketinggalan barang deh!

Sebelum sarapan, saya berkelana dulu sekitaran rumah untuk mengambil gambar. Cahaya mataharinya lagi bagus-bagusnya nih sebelum jam 10-an yang sudah terik.

IMG_5474IMG_5476 IMG_5473 IMG_5465 IMG_5459 IMG_5478 IMG_5484 IMG_5492 IMG_5493 IMG_5494 IMG_5500

Pas balik ke rumah, sarapannya udah pada selesai. Lagi-lagi ketinggalan jam makan. Untung masih ada temen, Ubay. Ubay ini makannya lagi dalam ronde 2.

Sampailah kami ke hal yang paling tidak diinginkan dari adanya pertemuan, yaitu perpisahan. Melihat Ibu Lilis menangis, saya hampir ikutan nangis. Udah berkaca-kaca. Tapi malu kalau nangis dilihatin sama temen-temen. Nggak jadi nangisnya deh.

IMG_5503IMG_5504 IMG_5507 IMG_5509Hai, aku Gorija!

Saat kami pergi ke tempat mobil pick up, Pak Sahriya ikut mengantar kami naik motor. Yang tidak disangka adalah, empat tourguide cilik kami pun ikut mengantar! Mereka lari-lari di belakang mobil pick up kami. Mereka mengikuti kami sampai kantor desa dan sebelumnya menemani kami saat mobil pickupnya terperosok ke selokan depan rumah warga. Men! Kok bisa ya masuk ke selokan perasaan jalannya nggak sempit kok. Mungkin supirnya kebanyakan pahala jadi pundaknya lebih berat di sebelah kanan, terus jadi nyetirnya suka mepet-mepet di kanan. Gak gitu juga sih kayaknya.

IMG_5520

Ada kali 20 menitan nungguin mobilnya diangkat. Nungguin, nggak bantuin. Cewek-cewek nungguin sambil berdiri di teras warga yang teduh. Paling bantuin pas estafet tas dari mobil pick up ke rumah warga yang baik hati ini memperbolehkan mobil kami terperosok di selokan depan rumahnya dan menaruh barang di terasnya. Asyik kan jadi cewek? Pasti dong.

IMG_5529 IMG_5553IMG_5539

Selesai dikeluarkan dari selokan, naik lagi deh ke atas mobil. Sempit-sempitan lagi, bro! Saya kebagian duduk di atas tas bagian tengah mobil. Nggak pernah kebagian di pinggir mulai dari datang dan pulang.

Ada satu kejadian yang hampir mencelakakan teman kami. Tedo, duduk di bagian belakang pick up. Saat itu mobil pick up sedang berusaha melewati tanjakan yang lumayan curam dan jalanannya nggak nyantai bergelombangnya. Kami sedang asyik berteriak-teriak ketakutan yang bercampur kesenangan hingga tiba-tiba ada cowok yang teriaknya lebih kencang dari kami. Tedo melayang di atas mobil pick up, kakinya tidak menyentuh pick up. Tedo hampir terhempas jatuh ke belakang mobil saat mobil melewati lubang di jalan! Hih. Serem sih, tapi pas baru saja kejadian, kami yang melihat kaget terus malah ketawa. Mobil diberhentikan dulu dan Tedo pindah ke bagian kiri mobil pick up.

Satu hal yang saya dapat saat tiba di kantor desa. Akhirnya, bisa lihat Kepala Desa juga, orangnya yang mana. Abisnya Pak Kades ini sibuk banget sih kemarin-kemarin ini, sibuk di kota Cianjur.

Selesai di kantor desa, kami melanjutkan perjalanan lagi ke kecamatan. Hal uniknya, Kak Samir nggak ikut ke mobil pick up saat mau keluar dari desa, malah lari duluan. Baru naik lagi ke mobil pick up pas udah di jalanan beraspal. Kak Samir larinya cepet banget! Larinya sambil pake down jacket pula, panas-panas begini. Curiga ninja. Tapi, dilihat-lihat sih Kak Samir larinya masih di jalanan, nggak di atap-atap rumah warga gitu.

Kembali lega-lah orang-orang berpantat yang duduk di pinggiran mobil pick up. Jalanan aspal! Tidak ada yang lebih bersahabat dengan pantat daripada ini.

Jalanan mulus, saatnya konvoi! Konvoi cuma satu mobil sih. Tapi definisi konvoi bagi saya itu saat ada benda yang dikibar-kibarkan sambil nyanyi-nyanyi. Saya kibarkan deh jaket saya yang kata teman-teman itu jaket keren punya! Jaketnya itu warna hijau army, model parka. Sabi deh! Beli khusus buat ekskursi. Hahaha.

Konvoi di sini sih nggak malu, soalnya nggak akan ketemu lagi. Cuek aja gitu kibar-kibarin jaket sambil nyanyi-nyanyi. Nggak ketauan juga kami rombongan dari mana, soalnya nggak ada identitas yang tertempel di mobil pick up kami.

IMG_5560Berfoto bersama ninja desa.

Kami tiba di kecamatan pukul 09.30. Habis nunggu semua teman dari seluruh desa sampai, baru lah bis berangkat.

Kebagian duduk di bis bagian belakang. Hii, mengingat jalanan yang meliuk-liuk, berbatu, turun naik, membuat mual. Padahal nggak pernah mabuk darat. Saking ekstrimnya jalan yang kemarin jadi saja bikin tersugesti. Untungnya, Ojan bagi-bagi antimo. Inilah pertama kalinya saya coba-coba minum antimo soalnya baru bisa nelen obat dalam bentuk pil dan kapsul saat baru-baru mulai kuliah. Gara-gara antimo ini, kantuk menyerang dengan dahsyat dan saya tidak sadarkan diri hingga bis berhenti di suatu tempat, yaitu restoran. Restoran Ampera 2-Tak. Saya turun dari bis dengan pikiran masih melayang, mata yang berat, dan sebagian nyawa tertinggal di kursi bis. Pertama kalinya saya merasakan sensasi yang aneh gitu, sampai-sampai nggak bisa ngomong apa-apa, sampai-sampai nggak sempat mempermasalahkan kenapa nama restorannya itu Ampera 2-Tak. Sampai kepikiran hingga sekarang gara-gara nggak sempet nanya. Kenapa namanya Ampera 2-Tak?!

Tahunya, selang beberapa menit, saat saya mau masuk restoran, Pak Awi bilang, “masuk lagi ke bis, restorannya bukan yang ini.”

Tidur lagi di bis. Terbangun setengah jam kemudian saat bis berhenti di suatu restoran. Nama restorannya adalah Ampera 2-Tak. Lagi. Beda cabang sama yang tadi. MEN, KENAPA HARUS AMPERA 2-TAK SIH? 2-TAK. 2-TAK. 2-TAK. Mikirinnya bisa-bisa sampai botak.

Waktunya ambil makan yang disediakan dalam bentuk nasi kotak. Ada tiga pilihan lauk, ayam, ikan mas, dan empal. Saya pilih yang empal karena nggak lagi kepingin makan ayam dan ikan mas. Duduk di kursi, buka kotak makanan dan inilah dia, nasi kotak empal tanpa empal di dalamnya. Yiiha. Mau bilang ke mas-masnya tapi nggak sanggup, soalnya nyawa belum kembali sepenuhnya. Namun, tiba-tiba dengan berbaik hati, Evita ngasih setengah dari daging empalnya dong. Aih. Padahal udah pasrah makan nasi, tahu, dan tempe. Dibalik kepasrahan inilah Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Hahaha. Ungkapan kebahagiaan lah, biasa.

Selesai makan, shalat zuhur dulu di musala, setelah itu tidak lupa mampir ke kamar kecil.

Udah gitu, mau ambil aqua deh beberapa gelas, buat diminum. Tiba-tiba dipanggil Pak Awi yang lagi makan, “Dhila!” Saya samperin deh, terus duduk di kursi, “kenapa, Pak?” Lalu, mimik wajah Pak Awi menandakan seperti nggak ada kejadian apa-apa, malah wajah heran. Kayak ekspresi, “ada apa ya, saya nggak ngapa-ngapain kok.” Padahal jelas-jelas tadi manggil juga. Becandaannya Pak Awi kadang suka aneh-aneh, atau selalu aneh-aneh. Menarik sekali dosen yang satu ini.

Akhirnya ngobrol tentang email yang kemarin ada blog Dhila-nya deh. Terus saking senengnya baca isi emailnya, sampai-sampai saya foto dong emailnya. Huahaha.

Sesaat sebelum kembali naik ke bis, Gorija mentraktir saya dan Evita es krim dong! Wall’s Feast. Kudapan yang lezat pelipur lara nggak kebagian empal dalam nasi kotak.

Perjalanan pulang akan dimulai lagi. Sebelum tidur, Muhammad Ghifari, biasa dipanggil Ogiv, ngasih liat video yang sangat sangat membuat saya menunda kantuk. Videonya berjudul “Demi Tuhan – Arya Wiguna” AHAHAHAHA…orang Indonesia yang jengah dengan berita-berita konflik Eyang Subur di TV akhirnya membuat sensasi segar dalam infotanment. Saya jarang nonton TV sih, tapi begitu liat video ini walau nggak tahu beritanya, tetep aja ketawa. Ada juga orang kayak gitu rupanya.

Sisa perjalanan ke Bandung tidak bisa saya ceritakan karena saya tidak ingat apa-apa lagi. Dunia mimpi menculik saya dari ingatan saya. Yang saya ingat, saya tiba di rumah setelah dijemput Mama di MBA ITB.

Ya, ekskursi telah usai.

IMG_5557


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *