Ekskursi, Bukan Eks-Kursi, Bekas Kursi: Part 5

Memasuki hari ke-3 Ekskursi, hari Jumat. Setelah kejadian kemarin, hari ini sepertinya saya sudah memiliki mental yang terasah lebih baik. Entah ini benar atau hanya perasaan saya saja. Tulisan ini menjadi mengada-ada.

Pukul 05.45, saya bangun, shalat subuh, bengong, makan.

Pukul 07.50, saya mandi jebar-jebur.

Jarak antara bangun dan mandi yang cukup jauh, ya? Beginilah hidup bersama orang banyak, telat bangun, bisa-bisa kebagian mandi nanti siang. Malah ada yang kebagian mandi belakangan, dia bener-bener mandi belakangan, mandinya malemnya. Itu juga karena kita suruh dia mandi. Itu lah Beni.

Setelah selesai mandi, saya siap menjelajah desa lagi. Tim Kekerabatan kan harus meneliti seluruh dusun yang ada di desa, nah masih ada tiga dusun lagi yang belum dikunjungi. Cibuntu, Bongas, dan Rawagede. Makanya, hari ini tim Kekerabatan dipecah jadi tiga. Gorija ke Cibuntu, yang konon katanya jalanan menuju ke sana itu bisa disebut sebagai rock climbing, curam banget, deh. Kebayang aja, Gorija takut menggelinding ke bawah. Evita dan Beni pergi ke Bongas, Bongas itu dekat dengan kantor desa, agak lebih bawah sedikit. Saya kebagian di Rawagede. Rawagede ternyata eh ternyata adalah tempat kami kesasar kemarin. Haft, menguak luka lama.

IMG_5364IMG_5366SD Pamoyanan, tampak belakang.

IMG_5369Jam delapan, saya, Christie, dan Tedo berangkat. Oh iya, saya hari ini pakai running shoes, nggak pake sendal gunung. Enakan pake running shoes ke mana-mana sih. Tetapi ternyata pakai di jalanan desa yang berbatu dan licin ini adalah kombinasi yang kurang tepat. Sempat beberapa kali, badan saya berpindah padahal saya nggak lagi jalan. Ngegeleser, bro. Maaf, saya orang Sunda.

IMG_5371

Perjalanan hari ini, saya lalui dengan rasa percaya diri, soalnya udah tau jalan karena nyasar kemarin. Jalanan yang kami lewati hari ini sangatlah indah! Sawahnya rapi berlapis-lapis, pohon-pohon tinggi nan ramping, alam yang luas dapat dipandang tanpa tertutupi rumah-rumah. Cahaya matahari yang hangat menyapa kulit kami. Beda sekali dengan kemarin. Suram, muram, gelap. Cahaya yang menyorot pada saya saja saya kira itu cahaya penjemput ajal.

Sebenarnya, saya agak ragu untuk ikut serta bersama Tedo dan Christie. Saya hanya nyamuk nakal yang terbang mengelilingi mereka. Ada orang bilang, jangan berduaan kalau cewek sama cowok, nanti ketiganya setan. Jadi Dhila setan? Perasaan sih enggak.

IMG_5372

IMG_5367Rumah ibu-ibu waspada yang kami tanyai kemarin malam.

Jam 08.21, kami tiba persis di tempat kemarin kami bertemu dengan motor Pak Ali dan Pak Dai. Kami memutuskan pergi ke arah kanan. Di sana ada warung. Warung adalah sumber narasumber. Benar saja, di sana ada seorang ibu, seorang bapak, dan dua remaja perempuan sekitar 17 tahunan.

Kami pun memulai percakapan dengan Ibu Khodijah, pemilik warung. Sebelumnya, beliau mengaku melihat kami tadi malam, saat kami sedang kebingungan. Beliau khawatir melihat kami yang menunjukkan gelagat selayaknya orang tersesat. Dan kami memang sedang tersesat. “Kasihan, udah malem gitu, asalnya mau Ibu ajak masuk dulu..” Banyak yang baik hati ya. Jadi, terharu.

Sembari saya dan Christie ngobrol sama ibu Khodijah, Tedo akhirnya ngobrol sama Pak Baban, seorang petani yang sedang beristirahat di warung Ibu Khodijah ini. Menurut tuturan dari Pak Baban, Ibu Khodijah adalah orang kaya. Sawah milik Ibu Khodijah, sekali panennya bisa menghasilkan 6 ton beras! Tentu beliau nggak ngurus sawah sendiri dong, udah punya beberapa anak buah.

Ternyata, Ibu Khodijah ini pernah bekerja sebagai TKI di Arab Saudi selama 6 tahun dan kembali ke Indonesia di tahun 1990. Berkat penghasilan ini, saat kembali ke tanah air, dia jadi kaya raya! Kaya raya level desa gitu deh, sawahnya bisa berhektar-hektar.

Perbincangan dengan Ibu Khodijah ini cukup menarik karena hanya dengan disentil dengan pertanyaan singkat, jawabannya bisa berlembar-lembar kertas A4.

Ada kejadian yang menurut saya agak serem. Saat sedang menanyakan umur suami Ibu Khodijah yang katanya jauh lebih muda, tiba-tiba ada satu dan lain hal yang membuat ibu Khodijah batal menjawab pertanyaan yang menurut saya agak tabu, namun kalau tidak saya tanyakan bisa terbawa mimpi berhari-hari. Tikus jatuh dari genteng dan lari ke arah kaki saya dan Christie. Bayangkan, gentengnya ada di hadapan kami, dan jaraknya sekitar satu meter lima puluh senti jika diukur secara diagonal dari kepala kami. Begitu tikus itu jatuh, awalnya kami kira itu buah. Tau-taunya buahnya goyang-goyang terus lari melesat. Biasa, kalau perempuan kebanyakan langsung teriak kan kalau liat yang begituan. Merasa bahwa saya adalah perempuan kebanyakan, saya ikut teriak bersama Christie. Ada added value di reaksi saya waktu itu, saya teriak sambil melotot. Tapi kebanyakan juga teriak sambil melotot sih. Kalau sambil merem, kemungkinan matanya itu kemasukan cabe atau beling.

Kami pun mengakhiri nongkrong dan ngobrol, kecuali Tedo, dia sih mengakhiri 4N. Nongkrong, ngobrol, ngopi, dan ngudud (ngerokok). Setelah itu kami pergi, nyari warung lagi.

Nemu warung lagi nih, searah dengan arah kami pulang. Warung Ibu Nia. Ibu Nia ini berumur 31 tahun. Anaknya ada tiga. Rupanya kata produktif di desa itu, beneran produktif ada hasilnya, ya.

Saat kami sedang berbincang dengan Ibu Nia, anak perempuan Ibu Nia sedang sibuk menjemur pakaian dan suami Ibu Nia sedang bekerja di lumbung padi yang berada tepat di depan rumah.

IMG_5379

Sambil ngobrol, sambil ngemil. Saya beli roti bermerek Fuji Bread rasa kacang hijau. Kacang hijaunya seuprit. Terus beli Mie Gemez dan Vindy Chocoballs. Anaknya Ibu Nia yang paling kecil sampai-sampai kabita (pengen ikut-ikutan) makan Vindy Chocoballs. Terus ngambil di warungnya sendiri deh. Curiga konsumen warung itu cuma anak-anaknya Ibu Nia sendiri.

IMG_5376

Ibu Nia bercerita bahwa ia menikah pada umur 16 tahun. Wah. Di umur segitu sih saya lagi sibuk belajar mengejar nilai-nilai buat nanti ikutan jalur Undangan di SNMPTN. Mana kepikiran buat nyari jodoh apalagi memulai rumah tangga.

Setelah 3N, nongkrong, ngobrol, dan ngemil, selama tiga puluh menit, kami berangkat pulang. Saya kembali menjadi nyamuk yang terbang mengelilingi Tedo dan Christie.

Kami memutuskan untuk tidak terlalu lama dan terlalu jauh berkeliling desa karena para laki-laki harus menunaikan ibadah shalat Jumat. Jam sepuluh, kami sudah tiba lagi di rumah. Rumah masih sepi, paling ada Parjo meringkuk di balik selimut, kelelahan abis dari pasar dan mewawancarai beberapa petani yang bekerja di sawah dekat rumah. Tak lama, rombongan dari dusun Bongas, yaitu Evita, Beni, dan Tedo, sampai di rumah. Kalau rombongan yang ke Cibuntu sih, jangan ditanya. Masih manjat kali. Perjalanan ke sana memang berat. Gorija saja sebelum ke sana sudah berat.

Saya memutuskan untuk duduk-duduk di teras sambil mencatat jurnal. Nulis sambil ditemani semilir angin dan setoples rangginang. Serius deh, rangginangnya beneran rangginang.

IMG_5397

Bosan menulis, saya ikutan Devina yang lagi kebosanan juga buat liat-liat pemandangan dekat rumah. Ambil-ambil gambar. Ngobrol sama ibu warung dekat rumah. Terus ngobrol sama ibunya ibu yang punya warung dekat rumah. Terus tiba-tiba masuk ke rumah ibu itu karena Devina langsung masuk begitu ibu itu mempersilakan masuk.

IMG_5409

Ibu itu bernama Ibu Aah. Ia tinggal beruda bersama cucunya dalam rumah kayu yang interiornya sederhana namun tertata rapi. Ibu dari cucunya itu sedang pergi ke Arab Saudi, jadi TKW. Suami Ibu Aah sudah meninggal 7 tahun yang lalu. Walaupun ada pria lain yang kepincut padanya dan mengajak menikah, Ibu Aah menolak dengan alasan sudah tua, nggak deh buat nikah lagi.

IMG_5416

Devina sibuk mengobrol dengan Ibu Aah, sementara saya lebih senang memperhatikan interior rumah ini. Ada satu kekhasan yang saya tangkap dari rumah-rumah di desa tempat saya tinggal, tentunya berdasarkan dari rumah-rumah yang telah saya kunjungi dan kebetulan semuanya ada ornamen ini. Bisa dong saya pukul rata? Nggak bisa dong. Nggak bawa palu.

IMG_5414

Di setiap rumah yang saya kunjungi, mulai dari rumah hostfam saya, Pak Sahriya, rumah Kasatgas desa yaitu bapaknya Dayat, rumahnya Pak Ali, dan rumah Ibu Aah ini, semuanya ada pajangan foto berpigura. Yang uniknya bukan dari ornamen atau ukiran di piguranya, tapi fotonya. Sulit dideskripsikan. Teknologi photoshop lagi booming kayaknya. Sampai teknologi ini diaplikasikan untuk membingkai harapan mereka tentang apa yang ingin mereka capai dalam foto editan tersebut.

IMG_5419

Lalu, kami berpamitan pulang. Saat menuju pulang, ketemu seorang bapak mau pergi jumatan. Sudah rapi, memakai baju koko, sarung, dan lengkap dengan peci. Dia menegur kami, berkata, “Neng, mau ke mana? Ini mau kelapa nggak buat diminum siang-siang nih. Kalau di sini mah tinggal ngambil, kan di kota mah harus beli..” Devina menjawab, “Ah nggak usah, Pak, ngerepotin atuh udah rapi gitu.” Bapak ini bersikeras untuk memberi kelapa. Sampai beliau jinjit agak ngangkang buat berpijak ke pohon dan ngambilin satu kelapa muda buat kami. Sungguh, baik sekali. Malah ditanya, “mau lagi nggak, Neng?”

IMG_5421

Sesampainya di rumah, Devina langsung minjem golok ke Bu Sahriya dan ngebacokin kelapa. Susah ternyata. Sampai Beni dan Kak Samir turun ikut bantu membacok. Kalau saya sih, jadi juru kamera saja.

IMG_5422

Begitu udah kebuka, air kelapanya dituangin ke piring. Terus saya, Evita, Beni, dan Devina, meneguknya bergiliran. Biar minumnya tambah asyik, saya ngucap-ngucap mantra dulu. Biar keren dan syahdu.

Kelapa habis, kerjaan pun habis. Oh, iya, gara-gara tadi bantuin buka kelapa, Parjo dan Kak Samir gak kebagian shalat Jumat. Pas sampe masjid pas “allahu akbar”.

Kak Samir pamit tiba-tiba, mau ke Bandung katanya. Gak deng. Mau ambil uang di ATM. Karena di tengah sawah, atau di pinggir empang desa itu nggak ada mesin ATM, makanya harus ke kecamatan. Tanpa pikir panjang, saya bilang, “tungguin, Dhila mau ikut.”

Saya pikir ikut jalan-jalan ke kecamatan adalah perjalanan asyik untuk membunuh waktu. Lama-lama, perjalanan ini bisa membunuh saya. GILA JAOH BET. Kemarin pas naik mobil pick up sih kerasa bentar, soalnya asyik teriak-teriak. Nah, ini, wih, wih, waw.

Pemandangan baru yang bisa diamati dari kegiatan berjalan kaki ini saboy punya sih. Tapi eh tapi, lama-lama saya cuma liat kaki saya doang, melangkahi batu-batu kerikil. Kami menuruni turunan panjang dan lumayan curam beberapa kali.

Kak Samir sih jalannya kuat. Soalnya terobsesi jadi pemain bola, katanya. Mengingat saya juga atlet softball, saya gak mau kalah. Mana disindir-sindir Kak Samir lagi, “katanya atlet..” Tidak, saya akan pergi dan pulang dengan berjalan kaki, gak akan naik ojek.

IMG_5426

Sepanjang perjalanan ini, saya mengamati bahwa makin dekat dengan kota, kekerabatannya makin kurang erat. Antara satu dan yang lain jarang bertegur sapa. Mungkin karena di kecamatan ini banyak orang berkunjung dari berbagai desa yang berbeda kali, ya. Terus, yang paling penting adalah… makin banyak camilan yang bisa dibeli. Ada roti bakar, ada gorengan, rujak, banyak deh. Pengen beli sih, tapi nanti kalau ketahuan Pak Awi, kepergok di jalan lagi jajan makanannya di luar desa kan gak asik. Soalnya Pak Awi suka foto candid-candid gitu. Terus diliatin fotonya ke angkatan bawah sebagai contoh terlarang di ekskursi. Hiii. Harus makan yang disiapin hostfam atau cemilan yang dijajakan dalam desa, pokoknya.

Kami tiba di kecamatan, liat-liat pasar. Perjalanan pergi memakan waktu setengah jam. Sekarang sudah jam satu. Saya jadi anak bermuka merah bagai kepiting lagi dibakar, terus dipakein saos tomat, terus ketumpahan cat dinding warna merah. Panas banget, men! Ya iya, jalan-jalannya tengah hari gitu.

Abis Kak Samir ambil uang, saya di Alfamart beli air mineral untuk menyambung nyawa.

Kali ini, sebelum perjalanan balik ke desa, saya mempersiapkan diri dengan lebih matang. Air mineral sudah di tangan, tinggal kepala ditutupin handuk deh. Ini bagaikan strategi pejuang di gurun pasir untuk bertahan hidup.

Jalan pulangnya dua kali lebih lama ternyata. Kadang-kadang bersimpuh di tengah jalanan menanjak. Kadang berhenti sejenak untuk ambil gambar pemandangan. Kadang berhenti karena ada mobil bak bawa kayu mau lewat. Jalannya bolong-bolong dan berbatu kan, makanya nyetirnya itu harus belok kiri kanan. Biar gak ketabrak, ya diem dulu, itu satu-satunya cara. Atau kalau emang sengaja mau ditabrak, ya, monggo.

Sampai akhirnya kami melewati kantor desa. Ada Evita, Parjo, dan Beni di sana. Mereka di dalam posyandu yang letaknya di sebelah kantor desa.

“Kak Samir, ada rombongannya Pak Awi tuh di rumah lagi ngecek.” Sontak saja, Kak Samir Sang Tutor Lapangan pun kaget dan langsung buru-buru menuju rumah. Karena pengen cepet tiduran di dalam rumah, saya langsung lanjut jalan lagi ke rumah.

Beberapa menit kemudian, saat kami sedang menyusuri jalan dengan langkah cepat, dan nafas memburu, ada mobil hitam mengilap yang dari kelihatannya bukan mobil dari sekitar sini. Kacanya tertutup semua, ber-AC rupanya. Mantap sekali, dingin-dingin asoy. Lalu, mobil itu berhenti di depan kami. Kaca mobil perlahan mulai terbuka. Mobil itu ternyata berisi Pak Awi dan rombongannya. Jreng!

Untung nggak jadi beli roti bakar.

Kak Samir gelagapan. Anak-anak lain di rumah lagi pada tidur-tiduran dalam sleeping bag pas Pak Awi lagi berkunjung, ini masalah besar, Bung!

Setelah ngomong sama Kak Samir, Pak Awi ngomong sama saya, “Dhil, ini lihat ada sesuatu..” seraya mengeluarkan handphone dari tempat handphone yang tergantung di ikat pinggangnya. Tampak beliau sedang membuka sesuatu yang membutuhkan jaringan sinyal untuk internet. “Ah, lama, Dhil, gak jadi aja, ya.” “Eh, gak bisa gitu dong, masa setengah-setengah!” Bahaya nih yang gini. Kalau rasa penasaran saya sudah terpancing, gak bisa ditarik lagi kalau nggak ada hasil. Saya harus tahu sekarang.

Rupanya ada email. Pas dilihat, kok ada gabungan huruf yang familiar ya. Rupanya gabungan huruf itu merupakan link blog Dhila! Terus saya lanjutin baca semuanya. Habis membacanya, ada perasaan berbunga-bunga. Mendadak jadi nggak kerasa capek habis jalan jauh. Kayak, ah, melayang-layang di angkasa. Seneng banget, hahaha. Saya ternyata suka dengan pujian.

Isinya gini: “Selamat pagi, Pak Awi. Mungkin ini bisa jadi insight berguna. https://dh25ila.wordpress.com Btw, ia menarik. Ceritanya hidup & sepertinya cerdas 🙂 Salam.”

Kyaa, kyaaa, kyaaaa! Kapan lagi ini terjadi dalam hidupku? Tiba-tiba jadi bahan subject email dari orang gak dikenal terus dibilangin cerdas lagi. Walau dibilangnya “sepertinya cerdas” tapi gak apa, deh.

Panggil aku, Dhila Si Menarik dan Sepertinya Cerdas.

Habis itu, baru deh ditanyain, “habis dari mana?” Saya kira itu adalah perkataan yang keluar pertama kali pada saya saat Pak Awi membuka kaca mobil. Gak bisa ditebak, ya, emang.

Jam 14.01, saya tiba di rumah. Tepar deng ternyata. kaki saya serasa hilang. Akhirnya saya tiduran di teras, soalnya di dalem rumah banyak yang tiduran. Saya harus tahu diri dong. Udah keringatan mana boleh tidur-tiduran deket orang lain walaupun orang lain itu juga belum mandi. Soalnya saya males deket-deket orang bau, nah, pasti orang lain juga gitu kan. Ya, tingkat toleransi saya terhadap bau badan itu sangatlah rendah, saya akui itu. Tapi, tau gak ada fakta menarik? Dhila itu walaupun keringetan masih tetep wangi. Ouyea.

IMG_5647

Sekitar jam empat, saya merasa mules. Jreng! Kamar mandi di rumah, klosetnya lagi mampet. Jreng, jreng, jreng! Mampus awak.

Ternyata, eh, ternyata, Kak Samir sepertinya adalah manusia ciptaan Tuhan yang diciptakan untuk mules disaat yang sama dengan saya. Kak Samir mau pergi ke Posyandu untuk menunaikan tugas mulia ini.

Berjalan lagi, lagi, dan lagi. Untuk buang air saja harus berjalan sekitar 1,5 km. Saya bersyukur di Bandung punya rumah yang kloset kamar mandinya nggak pernah mampet.

Sampai sana, taunya di Posyandu-nya nggak ada yang jaga. Tuhan, jarak antara saya dan toilet hanya tinggal beberapa meter lagi. Mohon ampun atas kesalahanku selama hamba-Mu ini hidup.

Setelah dicari ke sana-sini, muncullah Pak Deni, sang suami dari bidan Posyandu, bersama anak perempuannya!

Senangnya bisa ke kamar mandi. menunaikan tugas hingga tuntas. Mana kamar mandinya super bersih lagi jika dibandingkan dengan kamar mandi kebanyakan. Sabun cuci tangannya aja bisa milih mau wangi apa!

IMG_5438

Gantian deh sama Kak Samir. Saya menunggu di luar Posyandu sambil berbincang dengan Pak Deni. Pak Deni ini ternyata berprofsesi sebagai Kamtibnas Kecamatan. Banyak informasi yang saya gali dari beliau. Ada juga sekilas informasi tentang adanya ibu-ibu yang mau melahirkan dan diangkut dari Cibuntu, hanya dengan bermodalkan kain dan bambu, dipanggul beberapa warga. Cibuntu itu dusun yang jalannya curam banget deh! Tetapi, fisik orang-orang di sini sudah terlatih dengan medan yang harus dihadapi setiap harinya, makanya memanggul bahan bangunan saja mudah, apalagi ibu-ibu hamil? Ya, kan?


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *