Ekskursi, Bukan Eks-Kursi, Bekas Kursi: Part 2

Assalamualaikum, ini dia lanjutan dari post sebelumnya.

***

IMG_5292Petani dekat rumah hostfam. Kami bertanya arah sepertinya, entah apa, saya lupa.

Saya dan Gorija berpergian ke arah barat daya, kami pun sampai di daerah Pamoyanan. Sebenarnya pada awalnya kami tidak merencanakan akan ke mana kami pergi. Kami hanya membiarkan takdir membawa kami. Ahsyik.

IMG_5299SD Pamoyanan

Di daerah Pamoyanan ini, ada SD Pamoyanan ternyata. Kalo misalnya ada SD Banjarsari, berarti saya bukan di Pamoyanan, tetapi di Jalan Merdeka, Bandung. SD Pamoyanan adalah SD tempat para tourguide cilik kami bersekolah. Pada hari itu, masih ada UN berlangsung, sekolah pun sepi. Saya dan Gorija hanya bisa menatap sekolah ini dari luarnya saja. Kami tidak ingin merusak konsentrasi mereka. Apalagi mereka masih SD, pasti deg-degannya kerasa banget. Kalo misalnya sakit perut, tau-tau gak ketahan gara-gara konsentrasinya buyar kan, malapetaka. Kami juga tidak memaksakan untuk masuk ke daerah sekolah sebab saat kami masih berada di kejauhan saja, pengawas ujiannya udah ngeliatin. Kalau ngedeketin lagi, takutnya kami dibagiin soal ujian dan LJK juga sama dia.

IMG_5301

Kami pun berbalik arah. Lalu, hey, ada Tedo dan Ubay si Ojek Payung! Gila, mereka cepat sekali! Padahal kami berangkat beberapa menit lebih cepat. Seingat saya, kami tidak sedang mengikuti lomba gerak jalan. Tedo dan Ubay sudah selesai tanya-tanya di Mesjid Pamoyanan, yang terletak beberapa meter sebelum SD, ternyata eh ternyata. Waduh, ini sih bener, gercep sekali, bung! Mungkin badan mereka lebih aerodinamis sehingga mereka dapat berjalan lebih cepat. Mungkin saya harus masuk angin dulu ya, biar ada tolakan tambahan yang berasal dari kentut. Haha.

IMG_5298Masjid Pamoyanan

Mereka berdua ternyata akan melanjutkan perjalanan lebih jauh ke arah dusun Sukalaksana untuk mencari pesantren. Ubay dan Tedo kebagian ngebahas religi, makanya mereka berburu mitos, dan mencari petinggi-petinggi religi di desa. Kami pun berpisah.

Tak lama kemudian (catatan: lamanya perjalanan di desa, beda dengan di kota, satuannya harus dikonversi), kami bertemu dengan Evita dan Ngabdur, lagi berduaan di pos ronda, siang bolong. Siang bolong! Katanya kalau berduaan di kampung itu bisa diarak keliling kampung! Hahaha. Seram. Gak kebayang deh. Tapi kapan lagi coba diarak? Paling harus nunggu 2,5 tahun lagi, diarak keliling kampus. Lumayan kan, diarak tanpa harus bikin skripsi dan sidang dulu.

IMG_5293Pos ronda tempatnya Evita dan Ngabdur berduaan.

Nggak deng, hubungan antara Evita dan Ngabdur adalah hubungan yang pertemanan yang menjunjung tinggi profesionalitas. Evita dan Ngabdur sudah berhasil ngobrol dengan tiga narasumber. Tidak ingin kalah, saya dan Gorija langsung cabut dengan kecepatan tinggi, tanpa booster kentut, ya.

Kami menemukan sebuah warung. Warung yang tadi dilewatin sih, pertamanya takut-takut gitu mau ngobrol, cuma berani bilang “punten”. Merasa kami adalah sesama manusia yang memiliki derajat yang sama di mata Tuhan, maka tidak boleh takut deh. Hm, tapi kayaknya yang takut itu cuma saya deh, Gorija sih woles-woles aja. Saya suka susah menemukan topik pembicaraan. Kalau pun ada, suka loncat-loncat. Takut dibilang “naon atuh, maneh teh teu nyambung, euy! (apa sih, kamu tuh gak nyambung, woy)” sama orang desanya. Kadang yang muncul di kepala itu cuma komentar-komentar gak jelas, sampai-sampai gak kepikiran mau nanya apa. Harus ditambah kali RAM-nya.

Strategi pertama untuk bisa ngobrol adalah: jajan dulu. Saya beli susu yang diseduh panas-panas. Jadi bisa duduk agak lama. Pokoknya selama 4 hari di sana, kalau mau ngobrol sama penjaga warung, saya selalu jajan. Tapi, nggak pernah bayar. Soalnya dibayarin Gorija. Ah, saya harus traktir balik Gorija nih. Jasa Gorija begitu besar kemarin-kemarin ini. Tanpa Gorija, saya nggak tahu gimana caranya memulai pembicaraan yang baik. Tanpa Gorija, nggak akan ada temen yang kalo becanda itu lucu banget, apalagi pas Gorija main sulap kartu.

Di warung itu akhirnya saya minum susu dua kali. Haduh, gimana nih pipiku. Gak apa deh, gak apa, ini demi menjaga kelangsungan pembicaraan.

Strategi berikutnya dengan cara: merokok. Hea. Gorija berkorban harus merokok deh, padahal dia bukan perokok. Beli rokoknya langsung Djarum Super pula. Ngeliat Gorija ngerokok sih sebenernya cocok-cocok aja, badannya besar, brewokan, rambut semi-mohawk, dan kalau pundung (ngambek), garang abis! Asalnya itu aku lagi minum susu kan. Terus Gorija lagi diem, lagi nggak ada bahan bahasan. Tiba-tiba Gorija menoleh, terus bibirnya bergerak-gerak hebat. Perasaan hujannya nggak bikin kedinginan banget deh, kok Gorija menggigil? Ternyata Gorija bisik-bisik. “Dil, aku ngerokok nggak? Ngerokok nggak?” Tanpa pikir panjang saya bilang, “iya cobain aja!” Se-excited itu. Kapan lagi ekskursi coba? Semua kemungkinan yang bisa terjadi, harus dijadikan! Kalau katanya dengan merokok bisa mengakrabkan diri, cobain aja. Karena di desa ini cukup memungkinkan, bapak-bapak, anak mudanya banyak yang merokok. Tapi sekali ini doang, ntar lagi ya gak boleh. Ada sejuta cara lain untuk meng-approach orang kan?

Nah, rokoknya ini sambil dinyalain, ditawarin juga ke lawan bicara. Seharusnya sih berhasil. Tapi kok nggak ada yang mau ngambil? Curiga akang-akangnya ngerokok pake rokok kretek bukan filter. Rasis nih milih rokok. Padahal kan sama-sama dihisap, sama-sama membahayakan paru-paru. Hii.

IMG_5294

Kami ngobrol di sana sekitar 40 menit, soalnya mager juga, hujannya lumayan besar, jalan pun lumayan licin. Sendal gunungnya masih baru sih. Bukan alasan sih, cuma nyambung-nyambungin aja soalnya pengen pamer sendal baru.

Oh iya, di warung ini kami ngobrol sama ibu warung yang merupakan istri dari Pak RT yang juga ada di warung itu kebetulan. Pak RT lagi siap-siap mau pergi ke kantor desa, ada rapat PNPM. Pak RT disamper sama Pak Ketua DKM. Menurut ekspektasi saya, Pak DKM ngajak Pak RT pergi ngomongnya “Pak ERTEEE, rapat yuk!” Mengapa saya berekspektasi seperti itu? Soalnya, pasti Pak RT dan Pak Ketua DKM itu berteman sejak kecil, main bareng, ke sekolah bareng, pipis bareng. Adapun alasan mereka tidak memanggil satu ama lain seperti itu mungkin karena alasan: kan udah gede. Alasan udah gede ini adalah alasan yang paling malesin banget, setidaknya buat saya. Harus menahan diri, hanya karena kalo udah gede itu, ya, mestinya jaga image. HAFT. Kalo gitu caranya sih, saya males jadi dewasa.

IMG_5440Kalau liat sungai ini, niscaya Anda sudah dekat dengan kantor desa.

Hujan mulai mengecil, saya dan Gorija jalan lagi. Kita berniat pulang ke rumah. Seusai hujan, jalanan lagi licin-licinnya. Saya fokus menatap batu yang akan saya pijak. Penuh kehati-hatian. Serius banget deh. Serius kok ga nyampe-nyampe ya. Seriusan, ini kita di mana. Seriusan kok belokan ke rumah nggak adaa? Kami kebablasan, men. Jalan sampai ke kantor desa. Sekali kelewat, kelewatnya sampe lewat beberapa ratus meter. Untung nyasarnya ke kantor desa, bukan ke dunia kerajaan jin. Hii. Selalu ada hal untuk disyukuri.

Di sana ada Parjo, lagi mau ikutan rapat PNPM, soalnya informasinya penting dan lumayan banget tuh buat memperkaya apa yang bisa dibikin kaya. Apa coba. Apa hayo? Gorija duduk lagi di warung, soalnya ada orang yang bisa ditanya-tanya. Eh, ketemu Pak DKM lagi. Gorija jajan lagi. Tapi kali ini nggak ngerokok, beli aqua. Saya masuk ke kantor desa fotoin peta desa. Peta desanya ini lumayan lengkap, kami bisa mengira-ngira arah dusun yang kami tuju.

IMG_5313

Selesai dengan urusan foto memfoto, saya pergi ke luar. Wih, ada rombongan kelompok saya banyak banget. Lagi ngarak Evita dan Ngabdur. Enggak deng. Mereka mau ikutan rapat PNPM juga. Kalau kebanyakan anggota kelompok ngumpul di satu tempat bisa bahaya kalau ketahuan Pak Awi, soalnya sudah diwanti-wanti jangan ngumpul kalau nyari informasi. Kami harus berpencar. Lemaknya Gorija juga harus dipencarkan!

Saya dan Gorija pun menyusuri jalan menuju pulang. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan seorang nenek lagi bersihin lantai teras rumah dengan menyirami lantai teras dengan seember air yang diambil dari kolam ikan sebelah teras. Byur! Byur! Kecipak, kecipak! Ikan lele tergelepak di teras, diambil bocah terus dibanting-banting ke tembok! Tapi jangan salah, kejadian tersebut berakhir antiklimaks karena mulai bagian cerita ikan lele tergelepak itu sudah masuk cerita fiksi.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *