Mata melotot
Hidung kembang kempis
Bumi gonjang-ganjing
Mulutku bergetar
Peluh menetes di dahiku yang lebih luas daripada luas hutan yang ditebang secara ilegal
Aku mengomando tanganku untuk tetap mencengkram kaki jenjang milikku
Aku akan tetap membaca rangkaian kalimat itu
Untuk mengalihkan pikiranku
Dari besarnya penderitaan yang kualami
Tetapi, tujuanku tetap satu
Sempat terlintas dalam pikirku
Aku tak mungkin sanggup
Tapi ini sudah terlalu lama
Lebih lama daripada merancang reshuffle kabinet
Tetapi eh tetapi
Tak mungkin aku biarkan ini menyebar, mengakar, Bung!
Harus aku rebut kemerdekaan itu!
Sepertinya tak ada orang
Tak ada orangutan
Tak ada orang lucu
Seperti aku
Inginku hapus bait puisi yang kutulis sebelumnya
Karena aku tak ingin semuanya tahu
Walaupun kutahu
Bahwa semua orang sudah tahu
Kembali lagi
Perasaanku resah
Jika kuteriakkan apa yang kurasa
Jeritan seorang wanita takkan mampu mencapai tinggi nada yang kumau
Mungkin Ceu Rohim, kalau siang dipanggil Bang Rohim, mampu
Apaan sih aku
Sungguh
Biarkan aku sendiri
Menghadapi semua ini
Aku yakin, aku bisa
Seperti ular, seperti ular
Yang sangat berbisa, sangat berbisa
Oh
Tolong akhiri penderitaan ini!
Yang kunanti hanya satu:
Plung!
Leave a Reply