Mutilasi Melewati Batas Norma

Pucat. Sangat pucat. Darah muncrat kemana-mana. Ia bisu. Telah membisu. Tak sedikit pun kata-kata maupun sedikit pun suara yang dapat dikeluarkannya. Siang berganti malam, takdir pun pasti akan terjadi dan tak dapat ada seorangpun yang dapat menyangkalnya jika Allah telah berkehendak.

Tak ada seorangpun dari kawanannya yang dapat menolong ia. Terlambat, sungguh terlambat. Semua yang melihat, hanya bisa diam tanpa melakukan satu hal pun. Darah itu masih saja bercucuran dari nadi.

Mutilasi, ya hal ini tengah terjadi.

Pagi hari tadi, mereka masih bercengkrama antara satu dengan yang lainnya, masih bersuara dengan keras dan berirama. Sampai, seseorang dari kami telah memisahkan satu dari mereka. Kejam? Ya memang. Yang kuat pasti yang berkuasa, itu memang sudah jadi hukum alam. Tak peduli siapa yang benar atau siapa yang salah, mana yang halal dan mana yang haram, tabrakkan saja semua norma, toh tidak akan ada satu orang pun yang peduli.

Satu dari mereka sudah mati. Satu dari mereka sudah mengabdi.

***

Wangi ini, sepertinya kukenal. Seperti wangi yang keluar dari restoran cepat saji. Ayam goreng. Kulitnya renyah dan dagingnya penuh dengan cita rasa, siapa yang menolak?

Ayahku memotong satu dari dua puluh lima ayam-ayam broiler peliharaannya siang hari tadi, untuk aku. Karena aku ingin makan ayam goreng.

Posted with WordPress for BlackBerry.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *