Rutinitas itu bisa membosankan. Kebebasan (dalam hal ini, fleksibel dalam menentukan kegiatan) itu bisa membingungkan. Iya, saking bebasnya, sampai bingung mau ngapain dulu. Gak ada yang lebih baik di antara rutinitas dan kebebasan. Kata beberapa teman, dalam hidup tuh yang penting: tahu tujuannya. Kalau kata Simon Sinek, yang penting punya “why“-nya.
Kamu mau pergi ke sebuah titik. Untuk mencapai ke sana, kamu bisa memilih untuk jalan 5 jam, setiap hari, secara rutin. Dengan anggapan, itu adalah cara terbaik untuk mencapai tujuanmu. Tapi, kalau pun kamu di tengah perjalanan mau mampir ke tempat lain, mau berhenti sejenak, mau muter-muter di titik yang sama, ya, ga apa-apa juga. Karena toh kamu sudah tahu tujuannya ke mana. Menurutku sih begitu.
Di titik ini, pasti ada beberapa dari kamu yang udah mau marah-marah sama saya. “Lah, kalau udah tau tujuannya ke mana, ngapain santai-santai? Pake muter-muter segala pula. Waktu tuh terbatas. Harus mangkus dan sangkil!”
Eh, bentar-bentar. Udah yakin banget nih kamu dengan tujuanmu? Harus banget ke sana? Kalau udah sampai sana, terus gak dapetin apa yang diharapkan, gimana?
Apakah sebuah tujuan itu adalah sebuah hal yang sudah pasti? Ngga boleh diubah-ubah lagi? Go-Jek sama Grab aja ada fitur buat ngedit titik tujuannya saat kita udah dibonceng abangnya kok.
Coba sekarang kamu amati makhluk hidup lain di dekatmu, yang bukan manusia. Misalnya, semut. Atau nyamuk. Atau bunga kembang sepatu. Dari masa ke masa, job desc mereka sama kan ya? Rutinitasnya itu-itu aja. Mereka semua, makhluk hidup yang bukan manusia, telah menjaga bumi dengan melakukan rutinitas mereka secara baik. Sebagian besar dari mereka tahu dan bisa menjalankan perannya masing-masing, padahal ga diajarin di sekolahan. Ga ada sertifikasi pula. Pokoknya hidup sesuai tujuan penciptaan mereka oleh Tuhan.
Nah, kita, yang dibekali dengan akal punya kemampuan untuk dapat menentukan tujuan hidup kita sendiri kan nih. Kamu dengan bebasnya bisa bilang “aku mau jadi A!”, “saya ingin melakukan B!”
Masalahnya, apa iya, yang kamu mau tuju itu adalah hal yang baik untuk kita semua? Apakah dengan adanya kamu, apa iya ngga bikin keseimbangan dunia terganggu? Jangan-jangan lebih mending dunia ini diisi oleh gengnya semut, nyampuk, dan bunga kembang sepatu.
Gini maksudku, sebagai manusia, sepertinya ngga bisa hanya berpegang teguh pada satu tujuan. Harus paham dengan kebutuhan di sekitar kita. Mungkin pada satu titik, tujuanmu itu sangat dibutuhkan. Namun, ada masanya, tujuanmu itu sudah tidak relevan lagi. Atau, bisa jadi, meresahkan karena berpotensi untuk merusak.
Tujuan hidupmu itu tidak hanya akan memengaruhi kamu lho, tetapi juga orang-orang di sekitarmu, lingkunganmu.
Untuk kamu yang sudah menemukan tujuan hidupmu, selamat! Jangan lupa dievaluasi lagi secara berkala. Silakan di-update kalau udah nemu bug-nya. Pivot dan ciptakan versi baru kalau dirasa perlu. Ingat, itu bukan artinya kamu ngga konsisten, tetapi kamu adaptif dalam memahami kebutuhan zaman dan senantiasa berusaha agar tetap kompeten.
Hahaha, cuy, paragraf di sebelumnya itu tuh rasanya sangat utopis, ya. Hanya segelintir manusia aja yang rasa percaya dirinya tinggi, yang bisa melakukan itu. Kayak… Greta Thunberg dan Elon Musk gitu kali ya.
Katanya, kalau orang sudah nemu tujuan hidup, ia akan merasa terpenuhi. Masalahnya dalam pernyataan itu adalah “kasian amat buat yang gak nemu-nemu?” Mana saya termasuk di dalamnya pula! Kadang merasa “oh ini nih tujuan hidupku”, lalu beberapa saat kemudian, pas meleng dikit aja, langsung berpikir “ngga sih, ini ga mungkin sih…” Waduh.
Di situ lah, menguasai rasa “bersyukur” itu menjadi sangat puenting pol!
Coba digali-gali makna dari rutinitas dan kebebasanmu deh. Meski kamu merasa itu sangat cocoklogi, gapapa. Saya termasuk orang yang percaya bahwa hidup kita itu ada skenarionya. Skenario film yang seru kan yang ada jatuh dan bangunnya. Ada orang jahat dan orang baiknya. Kecuali kalau itu filmnya dokumenter ya. Ini ceritanya kita hidupnya tuh diibaratkan film blockbuster aja deh kalau gitu ya.
Makanya, kalau dalam rutinitas kita ketemu orang jahat, di situlah keseruannya. Saat mengetahui bahwa kebebasan kita itu ada batasannya, di situlah kita menyadari kalau kita masih hidup di dunia. Kalau kita mau ini dan mau itu semua bisa dipenuhi, mungkin kita udah di surga tuh. Emang sih, keadaan “mentok” itu yang biasanya bikin kita mikir “duh, hidup itu sebenernya supaya apa sih? Tujuannya apa sih? Pointless banget hidup gue”. Tapi, apakah kamu harus tahu jawabannya itu sekarang? Kalau sudah tahu pun, pasti nanti ada bimbangnya lagi. Terus nangis deh di kamar mandi (Curhat dikit: tahun kemarin, saya nangis 3 kali di kamar mandi kantor! Hahaha).
Jadi, buat kamu (dan saya) yang masih sering meragu dengan tujuan hidup, nikmati saja perjalanannya. Jangan berusaha buru-buru, jalani aja dulu. Nanti juga tahu.
Leave a Reply