Awal-Awal Berkibar

Sudah satu bulan saya bergabung di Kibar. Iya, berarti ini udah satu bulan ngekost di Jakarta. Ternyata gak semenyeramkan itu! Mungkin karena Papa dan temennya yang jagoan sih milih kosannya. Penjaga kosannya baik, malah pernah ngirim gambar tentang ingat berdzikir gitu lewat LINE. Bisa menjaga rohaniah penghuninya juga ternyata. Kalau ke kantor, tinggal naik sepeda, jalannya lurus terus, cuma harus lewatin 3 persimpangan aja, jaraknya kira-kira 1.5 KM. Tapi sedeket-deketnya jarak tempuh ini, jangan bilang “yaelah, tinggal ngesot doang, Dhil,” karena saya jamin, ngesot di lantai yang baru dipel sama Wipol jarak 2 meter pun pasti bisa bercucuran air mata.

Kenapa? Wipol itu buat bersihin kamar mandi bukan buat pel lantai?

Yaudah, ngesot di lantai kamar mandi juga sakit kan, contohnya tetap valid berarti.

Kalau tadi perginya naik sepeda, jangan kalian simpulkan kalau pulang ke kosannya juga naik sepeda, ya! Kenapa? Soalnya pulangnya naik mobil. Kok bisa? Lanjutin dulu aja bacanya.

Jam masuknya Kibar itu jam 10 pagi, tapi saya biasanya udah sampai jam 9an. Kenapa? Biar sepedaannya gak panas. Yaaa, walaupun sepanjang jalannya teduh banyak pohon sih, jadi ga begitu ketara perginya jam berapa. Biar bisa browsing-browsing bacaan asupan otak dulu karena internet di Kibar lebih cepat daripada internet kosan. Ngerasa gak sih waktu berjalan begitu cepat kalau lagi berseluncur di dunia maya? Untuk itu, mending berseluncur dulu di jalanan biar gak telat. Sepertinya dilatasi waktu terjadi deh sama orang-orang yang lagi browsing. Tapi biasanya sih dateng cepet buat me time ngerjain kerjaan juga, soalnya kalau siang tuh biasanya kan ada meeting, jadi ketunda-tunda ngerjain kerjaannya. Bahaya kalau kerjaannya ketunda. Rakyat kan menunggu perubahan, nah, changemaker-nya ya harus kerja terus. Kecuali kalau rakyat bisa menciptakan perubahan sendiri, baru saya boleh nyantai sambil browsing bacaan asupan otak, hahaha.

Jam pulang di Kibar itu, gak ada jam pulangnya. Iya, adanya jam masuk aja. Walaupun kalau kalian googling tentang Kibar itu tulisannya pulang jam 6 sore. Bagusnya, saya bisa ketemu dan berinteraksi lebih lama sama manusia, nggak ngobrol sama tembok kostan, haha. Tembok sih ga akan mau ngobrol, orang jobdesc dia aja udah berat, harus melindungi makhluk hidup yang bernaung di bawahnya dari panas dan hujan, udah gitu, gak boleh runtuh juga. Kalau runtuh, namanya bukan tembok lagi soalnya.

Nah, untuk menjawab pulangnya jam berapa dan kenapa pulangnya naik mobil, jawabannya adalah: antara jam 22.30 sampai jam 01.00, dan nebeng mobilnya Ko Yansen, sepedanya dimasukin bagasi. Hahaha!

DSC05331

“Terus kalau gak ada jam pulangnya, gimana dong? Ngapain di kantor?”

Yaa, itu, kerjain kerjaan yang bisa dikerjain. Waktu yang dimiliki semua manusia dalam satu hari kan sama, ada 24 jam. Bagaimana cara menggunakan waktunya itulah yang akan menjadi pembeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Saya selalu merasa apa yang kami lakukan di Kibar itu bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Untuk itu, cukup sudah alasan untuk bekerja lebih lama, agar bisa melakukan lebih banyak, menuju perubahan yang signifikan.

“Apaaan tuh, normatif banget jawabannya!”

Hm, nih saya beri contoh, ya.

Kemarin pas gabung itu, tepatnya di dua minggu pertama, lagi ada dua event besar, yaitu Google HackFair dan Google for Education Summit 2015.

Google HackFair itu bisa dibilang semacam perayaan, apresiasi, untuk para developer, startup founder, engineer, dan maker. Di sana, pengunjung bisa lihat-lihat tech-projects keren (dalam acara ini yang semuanya ada pake teknologinya Google, kayak Android atau Cardboard misalnya) dan harapannya mereka jadi terinspirasi untuk mulai bikin karya mereka setelah tahu Indonesia itu makersnya udah bisa bikin sekeren apa.

Google for Education Summit bertujuan untuk menginspirasi para decision maker sekolah, yaitu kepala sekolah, guru IT, dan kepala yayasan yang kami undang dari seluruh penjuru Indonesia (kemarin berhasil datengin 700-an sekolah ke acara ini). Pesan utama acara ini adalah bagaimana penggunaan teknologi agar memudahkan dan proses belajar mengajar karena itu yang dibutuhkan dan sesuai untuk generasi digital natives.

Di dua event tersebut, saya itu ngerjain apapun yang dikasih, kayak misal bikin copywriting email undangan, email konfirmasi peserta, terjemahin biodata pembicara ke bahasa Inggris, bikin copywriting penjelasan acara, pokoknya yang tulis-tulis. Di situ, saya harus mengerti betul tentang siapa yang ingin kami yakinkan untuk datang karena acara ini bisa menjawab masalah mereka. Mikirnya, kayak ini tuh nulis surat cinta, yang hangatnya pas, tidak sepanas mata yang kena salonpas.

Semua orang bisa menulis sebuah cerita, namun hanya sebagian yang “disimak”. Hanya sebagian yang dapat menciptakan koneksi dengan target audiensnya. Hanya sebagian yang memiliki empati untuk mengerti dengan siapa ia akan berbicara. Itulah tantangan terbesarnya. Saya garis bawahi di bagian “empati”, ya.

Untuk membuat sebuah acara yang baik, kita harus bisa berpikir dari kacamata audiens untuk merasakan dan mengerti, berempati. Membayangkan apa ekspektasi mereka, apa yang bisa membuat mereka nyaman, apa yang bisa meninggalkan kesan, dan apa yang bisa membuat mereka dapat menerima “pesan” kita. Yakinkan pada diri bahwa sekecil apapun sebuah tindakan itu, bisa memberikan dampak yang besar! Iya, sekecil cabe yang nyelip di gigi pas presiden mau kasih pidato di Gelora Bung Karno tuh kan pengaruhnya besar kan! Bahkan bisa menyangkut harkat dan martabat negara tuh.

Bayangkan, jika ada seorang guru yang terinspirasi untuk menerapkan teknologi di sekolahnya, sekembalinya dari acara, hanya karena kita berhasil memastikan pointer yang digunakan oleh pembicara dengan baik sehingga materi tersampaikan dengan lancar tanpa gangguan teknis! Atau, bayangkan, awal revolusi pembelajaran berbasis digital itu terjadi hanya karena sesimpel kita menanyakan apa kabar pada mereka saat baru tiba di lokasi acara dan sedang mengantre di registrasi. Rasanya, tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan saat seseorang mendapatkan apresiasi, saat seseorang merasa dihargai, ya gak sih?

Btw, beberapa hari sebelum ke Jakarta, saya sempat berbincang perihal apa aja kira-kira yang bakalan saya kerjain di Kibar bersama Ko Yansen dan ada Mba Putri juga via telepon. “Pokoknya Dhila yang di balik layar aja kerjaannya, yang ga usah ketemu orang atau nelfon orang gitu, Dhila bisa stres,” ujar saya. Fyi, saya itu buat nelfon delivery service aja, kalau ada orang lain, ya dia aja yang nelepon. Kalau ga ada orang lain, ya, nahan laper aja sampai muncul orang lain yang bisa neleponin. Satu lagi, kalau ketemu orang baru, saya gak akan ngajak kenalan sampai orang itu yang ngajakin kenalan. Malu sama orang baru. Bingung juga kalau abis kenalan itu harus ajak ngobrol apa. Kalau orang lain yang ngajakin kenalan duluan kan berarti responsibility topik obrolannya bukan di Dhila kaan, hehe.

Tak tahunya, untuk hari H acara, di Google HackFair dan di Google for Education Summit, saya dikasih kerjaannya jadi LO. Liaison Officer. Ha. Ha. Ha. Lo…lo bercanda, nih?

Ternyata tidak bercanda, saudara-saudara. Perlu kalian ketahui, ada salah satu line di misinya Kibar, yaitu “To do things they never thought they could”. Karena saya sekarang anak Kibar berarti saya setuju dengan misi itu, dan saya harus bisa menjalankan apa yang saya percayai dari misi itu. Oke, challenge accepted.

Eh, pas diteliti, kan biasanya LO tuh satu orang satu kan. Pas Google HackFair, satu orang untuk tiga belas speakers. Yuk nari, watch me whip, watch me nae nae sekarang juga. Berjamaah kalau perlu! Untungnya, tiga belas itu bukan untuk satu hari sih, tapi dua hari.

Siapa sajakah yang menjadi tanggung jawab Dhila selama di Google HackFair? Mereka yang beruntung adalah Leontinus Alpha Edison (Cofounder & COO Tokopedia), Alamanda Shantika (Vice President of Product Go-Jek), Martin Kurnadi (CEO Geeknesia), Muhammad Ihsan Akhirulsyah (Co-founder & CFO eFishery), Wiku Baskoro (Chief Editor Daily Social), Setiaji (Head of UPT Smart City Jakarta), Andri Yadi (Founder & CEO Dycode), Fahmi Islami (Aide to the Governor of DKI Jakarta), Yudhie Fardhani & Utomo Widhiyasa (DCImaji), Prasetya Dwicahya (Research Assistant / Data Analyst The World Bank), Yohan Totting (Google Developer Expert: Web Technologies), dan Aranggi Soemardjan (Founder Clevio).

Satu hal yang saya camkan dalam kepala adalah memastikan mereka dalam kondisi terbaiknya saat nanti naik ke panggung dan berhadapan dengan orang-orang yang udah rela jauh-jauh ke kota tua, panas-panasan, demi dengerin sharing dari mereka. Akan ada banyak orang yang menunggu inspirasi dan insight dari orang-orang keren yang saya LO-in ini. Berbekal dengan objektif itu, tiba-tiba rasa takutnya hilang, walaupun deg-degan ketemu dan menghubungi orang baru nya masih ada sih. Tapi, pas hari H itu tiba, untungnya semua lancar! Banyak belajar juga sama Kak Achi terutama, tentang gimana caranya menghubungi dan follow up pembicara.

Gini ya rasanya jadi LO. Nanti, kalau tiba saatnya Dhila di-LO-in orang, Dhila mau baik-baikin anak  LO-nya deh karena rasanya tuh…menakjubkan. Bayangin, kamu ngobrol sama orang yang bikin bapak-bapak ojek mendadak melek teknologi dan bisa memperbaiki kesejahteraan hidup mereka. Bayangin, kamu nanya-nanya langsung sama orang yang bikin nonton bioskop 4DX itu kalah seru sama experiencenya nonton film 360 derajat pakai virtual reality. Iya, film yang beneran bikin kamu berasa kayak di dalam filmnya! Nonton film hantu bisa noleh kanan kiri atas bawah, dan kamu gak bisa nebak hantunya bakalan muncul dari mana.

Bisa networking sama mereka dan tahu visi besar yang mereka bawa masing-masing untuk Indonesia itu sungguh bikin saya tambah menggebu-gebu! Untuk itu, saya berusaha sebaik-baiknya untuk menjalankan peran saya sebagai LO karena saya tahu apa yang saya lakukan ini not for the sake of ini tuh tugas yang didelegasikan aja, tapi salah satu hal penting yang menyangkut penyampaian inspirasi untuk anak bangsa.

Di Kibar, saya belajar untuk selalu melihat segala sesuatunya dari big picture-nya. Apa objektif yang dicapai, kenapa objektif itu penting. It’s not about what you do, but why you do it

Ngomong-ngomong, kalau ada yang mengira Kibar itu sekedar event organizer, bilang sama saya, nanti saya jelaskan. Gak bisa lewat tulisan atau telepon, harus ketemuan. Kalau gak gitu, gak bisa kerasa feel-nya gitu, hahaha. Ada alasan super besar kenapa I go beyond the 9-to-5 working hours. Buat kamu yang tahu kalau Kibar itu punya pro bono projects yaitu inkubator yang ada di beberapa kota yang kerjasama bareng universitas dan ada yang sama Pemerintah Kota Surabaya juga, selamat, kamu sejengkal lebih dekat untuk mengenal Kibar! Ya, tapi itu sejengkal, dikit banget. Itu masih tip of the iceberg aja. Ada alasan kenapa UGM, ITB, Bu Risma (iya, walikota terbaik ke-3 di dunia) itu mau bikin pergerakan bersama Kibar.

Postingan yang panjang ya. Penting untuk dituliskan sebagai review untuk diri sendiri, dan buat jadi penyemangat kalau-kalau di depan nanti saya hilang arah. Tapi kemungkinannya super kecil sih karena saya bertemu orang yang bervisi sama setiap harinya. Apalagi setelah Intania gabung Kibar juga. Iya, Intania Amanda Larasaty yang tiba-tiba bikin Dhila involve sama ITB inMove karena terbeli oleh visi besarnya dia untuk ITB. Terus sekarang kita terbeli oleh Ko Yansen dan visi besarnya Kibar! Hahaha.

Akhir kata, sudah sebulan saya terjerumus. Masuk dalam pusaran. Yang gak kuat, bisa terlempar ke luar. Jadi, mohon doanya!

Photo documentation: Wilson Nugraha


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *