Ketika Bandung Hujan

Bandung sekarang sering hujan. Apa Bandung menangis? Menangis karena Dhila bakalan tinggal di Jakarta tiap Senin sampai Kamis? Kayaknya nggak sih. Sepertinya Bandung rela-rela saja, apalagi saya sudah pernah menghilangkan kartu tanda pengenal saya. Mana mungkin Bandung kenal sama saya. Teman-teman yang kenal saya saja berpikir Dhila ini orang Jakarta. Logat Sunda saya hilang sepertinya. Siapa yang ambil?! Tolong kembalikan pada yang bersangkutan.

Dhila beneran bentar lagi pindah ke Jakarta, itu jangan dianggap kalimat bohongan ya, walaupun saya suka bercanda. Sempat terpikir kalau tinggal di Jakarta tuh pasti asyik gitu, hidupnya serba cepat. Tapi pas beneran sekarang mau pindah ke Jakarta, yang kepikiran adalah gimana caranya cepat pulang ke Bandung. Saya pindah ke Jakarta itu bukan karena di sana itu asyik sih sebenernya, tapi karena ada beberapa hal yang mau saya kejar. Saya harus membuat tulisan ini jadi sebuah pengingat untuk meyakinkan diri saya kalau saya tinggal di Jakarta itu untuk tujuan yang lebih besar, kalau kalau saya nanti di Jakarta galau pengen pulang ke Bandung.

Dhila sekarang bergabung di KIBAR. Iya, kerja. Kaget? Jangan kaget karena harusnya saya yang kaget padahal dulu cita-cita saya itu semuanya lebih ke self-employment gitu kalau diingat-ingat. Komikus, arsitek, penulis, dan atlet.

Dulu alasan saya gak mau kerja soalnya kerja itu identik dengan sepatu hak tinggi, baju rapi, dan make up. Untungnya, di dunia kerja sekarang ada dimensi yang nggak kayak gitu, haha. Eh, btw, Dhila udah bisa make up loh, big thanks to Nea. Gaya make up-nya itu “no make up” make up, jadi kayak ber-make up tapi kayak gak keliatan pake make up. Satu concern saya setelah belajar gaya make up tersebut adalah apa hal itu bisa membuat saya masuk ke dalam golongan orang-orang yang munafik? Pake make up tapi sok-sokan kayak gak pake. Hehe. Satu lagi yang bikin saya gak mau kerja itu soalnya kebayang hamster yang lari dalam roda gitu. Entah kenapa dapat image kayak gitu. Gak jelas, ya?

Btw, saya selalu berpikir kalau saya punya satu kekuatan super, yaitu bisa bedain mana orang baik dan mana orang jahat dari ekspresi wajah, perkataan, dan tindakan. Tahu dari mana? Coba lihat saja orang-orang yang dekat dengan Dhila, semuanya baik-baik gak ada yang jahat. Dengan “kekuatan” tersebut, saya bisa memilih panutan dan “penasihat” dengan baik selama kehidupan bersosialisasi di luar rumah. Waktu SD itu saya punya (Almh.) Bu Nurhayati, wali kelas terbaik sepanjang masa. Waktu SMP saya punya Aa Ishak, pelatih softball yang juga melatih saya tentang hidup. Waktu SMA saya punya Bu Susan dengan idealisme beliau tentang pendidikan, dan Pak Supriatno yang mengajarkan saya tentang ketulusan. Waktu kuliah saya punya Pak Awi yang membuat saya lebih mempertanyakan tentang segalanya hingga ke akarnya hingga lebih masuk akal. Sebagai pembelaan, semua yang saya pikirkan dari dulu itu menurut saya selalu masuk ke akal saya sih, masalahnya, kadang ga masuk ke akal orang lain, hahaha.

Pokoknya, orang-orang yang saya sebutkan tadi itu perannya krusial dalam proses penempaan hidup (yoi bet!) dan, ya itu tadi, saya bersyukur bisa dipertemukan dan bisa berguru kepada mereka. Sebagai catatan, kalimat yang saya tuliskan tadi itu belum menggambarkan sepenuhnya tentang bagaimana mereka itu sangat berarti dalam hidup saya. Lalu, sekarang saya berada di fase kehidupan yang baru. Di rute yang baru ini, saya harus cari tau siapa yang udah pernah lewat rute ini agar saya tidak tersesat. Lagipula, saya belum menentukan ke mana rute yang mau saya ambil.

Bulan Mei tahun lalu saya bertemu satu orang yang menarik, lulus dari scanning oleh “kekuatan” saya yang bisa mendeteksi orang baik, selepas balik dari Google Student Ambassador Summit. Obrolan waktu pertama ketemu itu itu inti bahasannya gak jauh-jauh dari “why you do what you do”, untuk apa kamu melakukan suatu hal, masalah apa yang mau kamu pecahkan. Setelah itu, lanjut bahas bagaimana strategi untuk melakukannya, dengan titik beratnya pada: kolaborasi. Dia bisa memetakan dengan baik dan masuk akal antara masalah dan solusi. Di sela-sela bahasannya, kadang terselip sarkasme dan obrolan cewek. Bukan obrolan cewek sih, ngobrolin cewek lebih tepatnya. Cuma di bagian itu aja kadang saya gak ngerti “why he does what he does”, hahaha.

Singkat cerita, dari pertama ketemu itu saya melihat ada visi yang besar untuk bangsa Indonesia yang mau orang ini wujudkan. Beberapa pertemuan berikutnya saya ngecek, apa yang dia bicarakan ini sejalan nggak sih, does he mean what he said? Bagaimana berinteraksi dan memperlakukan orang lain, memperlakukan tim-nya. Saya belajar banyak hal, apalagi saat awal tahun ini diajakin ke Surabaya. Btw, orang yang saya bahas dari tadi itu namanya Yansen Kamto. Orang yang mengultimatum saya, “Dhila habis lulus harus gabung ke Kibar, ya.” beberapa bulan lalu, dan langsung saya jawab “iya”. Entah dari mana itu saya bisa ada keberanian buat bilang “iya”. Mungkin karena saya tidak menemukan alasan untuk bilang “nggak”. Saya gak nemu ada salahnya di mana. Sejak bertemu dengan Bro Ko Yansen Kamto ini saya jadi lebih berani berpikir untuk melakukan kontribusi untuk bangsa, dari yang dulunya saya pikir cukup hanya dengan menjadi warga negara yang baik saja. Sejak itu, hilang sudah asosiasi kerja itu sama dengan hamster yang lari dalam roda dalam pikiran saya setelah mengetahui ada tujuan yang besar di balik pilihan saya bahwa kerja itu bukan sekadar rutinitas. Oke, selepas lulus dari institusi pendidikan, saya udah tau mau berguru lagi sama siapa dan saya punya alasan untuk memilih mau kerja, bergabung di Kibar. Saya sudah tahu mau ambil rute mana.

Oh iya, satu yang belum pernah saya bahas adalah saya saat ini sedang bikin startup sama empat teman saya, yaitu Biblio. Ide Biblio berawal dari sini. Dengan bergabung di Kibar, akan semakin besar peluang keberhasilan Biblio, soalnya bakalan banyak ketemu sama orang-orang hebat, khususnya yang bergelut di tech-startup. Bisa ketemu sama banyak mentor!

Ehem, satu kesulitan yang saya alami saat mengembangkan Biblio adalah sekarang itu…setelah saya dalami, adalah saya jauhan sama sahabat saya, Evita. Kami tuh kayak yin & yang gitu. Saya itu suka berpikir tentang banyak kemungkinan dan Evita bisa memilih kemungkinan mana yang paling mungkin untuk dipilih. Evita itu paling bisa menstrukturkan ide dan menajamkannya. Paling bisa nyemangatin buat selesai pada tanggal yang ditentukan. Diskusi berjalan lebih terarah dan berujung pada eksekusi. Tapi, sekarang Evita ada di planet Bekasi. Btw, kayaknya kebanyakan ngobrol sama Evita itu lah yang bikin logat Sunda saya hilang. Sayangnya, jarang ngobrol sama Evita bikin ada satu bagian dari diri saya yang hilang.

Oke, setelah mengurai benang kusut dari pikiran yang terdistorsi hal-hal emosional menjadi sebuah tulisan yang saya harapkan alurnya user friendly *pfft..user friendly* untuk pembaca (di luar saya sendiri), sekarang pikiran saya lebih tertata dan saya lebih mengerti arti penting kepindahan ini buat saya (kadang orang kan bisa gak ngerti tentang isi pemikirannya sendiri, terus pas cerita ke orang lain baru dia ngerti jalan pemikirannya sendiri). Saya harus sadar bahwa dengan berkegiatan di kota metropolitan itu saya mendapat kesempatan untuk berguru dan juga bisa lebih sering bertemu dengan cewe-cewe Biblio buat merampungkan strategi dan langkah-langkah taktis Biblio (Avi tinggal di Jakarta, Evita suka naik roket ke Jakarta, Nea itu hobi nge-Jakarta) sementara webnya digodok sama cowo Biblio (Evan, yang tiap ikutan hackathon pasti pulangnya bawa title berbau kemenangan) di Bandung.

Hmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm…..

Tapi, masih aja gak sreg sih dengan ide “pindah atau tinggal di Jakarta”.

Mikir lagi deh….

..1..

..2..

..3..

Nah, baru aja kepikiran nih ada satu siasat lain setelah menjelaskan pada diri sendiri tentang “kenapa saya harus tinggal Jakarta”. Siasatnya adalah: merombak pola pikir saya bahwa ini tuh cuma “nginep empat hari di Jakarta”. Ya, mayan lah.

Dan hujan di Bandung baru saja reda karena Dhila cuma menginap di Jakarta.


Posted

in

by

Comments

One response to “Ketika Bandung Hujan”

  1. ehwiya Avatar

    Sukses Dhila, perkara Kibar dan Biblio-nya. Selamat merindukan Bandung :”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *