Duapuluh Satu

Duapuluh satu, twenty one, 21, tempat yang saya kira khusus orang-orang berumur 21 tahun ke atas untuk sama-sama menonton film yang ada bunuh-bunuhan orangnya mati beneran (iya, kalau nonton film ada orangnya mati tuh sedih banget, mikir kenapa dia mau berkorban sampai mati gitu demi seni pertunjukan) dan orang ciuman itu cuma diedit padahal mulutnya nggak nempel (soalnya kalau asal nyium orang itu gaboleh, dosa). Tapi saya percaya kalau di Petualangan Sherina yang saya tonton di bioskop, waktu adegan cium kening Sadam oleh Sherina sebelum kabur itu beneran bibirnya nempel deh!

Ehem, waktunya serius. Saya mau bercerita panjang nih. Tentang apa? Saya nggak mau bilang, soalnya saya juga gak tahu ujung postingan ini akan di mana.

Sekarang saya berumur 21 tahun. Sudah beneran masuk kategori dewasa nih. Boleh main kasino loh!

Banyak hal yang dulu saya pikirkan tentang menjadi dewasa itu adalah hal yang tidak mengasyikkan. Salah satunya, setelah saya amati, karena jarang ada orang dewasa mengenakan t-shirt tokoh kartun favoritnya. Saya merasa terancam kalau menjadi dewasa itu berarti sudah nggak keren kalau pake baju bergambar Doraemon ke mana-mana. Sempat saya melawan tren itu hingga SMP, namun lama kelamaan hilang karena tren kalau beli baju lebaran itu harus beli di distro. Akhirnya, tekanan konformitas itu tidak dapat saya hindari. Ini sama seperti halnya saya bersikeras kalau celana jeans tanpa karet itu tidak masuk akal (dulu semua celana saya berkaret, celana anak-anak memang berkaret kan banyaknya?), akhirnya sekarang saya memakai celana jeans pada umumnya. Iya, celana yang kalau pas, alhamdulillah, kalau nggak pas, silakan pakai ikat pinggang, yang kalau mau lewat gerbang pemeriksaan sebelum naik pesawat harus dibuka.

Selain itu, hingga SMP pun, saya sangat senang memakai celana pendek. Apalagi, setelah saya menonton di TV, ada seorang bapak-bapak yang terlihat sukses, selalu memakai celana pendek ke mana-mana dan hanya mengenakan celana panjang saat mendatangi pernikahan atau pemakaman, yaitu Alm. Bob Sadino, saya semakin semangat untuk memperbanyak koleksi celana pendek saya. Bahkan kalau bisa celana pendek saya itu ada hari pakainya. Celana pendek senin, celana pendek jumat, celana pendek hari Pendidikan Nasional. Saya menganggap menjadi nyentrik itu nggak apa-apa, ya karena emang itu keinginan hati. Jadi nyentrik itu karena nggak semua keinginan hati orang itu sama dengan kita, kalah jumlah dalam menentukan norma sosial. Siapa tahan menjadi bagian dari minoritas? Tidak banyak. Lalu, sedikit demi sedikit, prinsip (di antaranya adalah berpakaian t-shirt kartun dan celana pendek) yang saya pegang luntur dan bercampur dengan “aturan” yang ada. Menjadi dewasa berarti mampu menerima dan mengadaptasikan diri dengan situasi, sekalipun itu tidak mengasyikkan karena kadang memang itu yang diperlukan.

Ngomong-ngomong, semakin lama, saya semakin mengerti istilah orang tua saat berbincang dengan orang tua lainnya dengan kalimat “iya, anak saya lagi masa cari jati diri tuh, susah nurutnya, suka membangkang”. Namun, saya rasa nggak ada hubungannya sih pencarian jati diri dengan akhirnya jadi suka membangkang. Itu gara-gara dibikin aturan aja, dan sang anak merasa aturan itu tidak sesuai dengan dirinya. Tidak sesuai dengan gejolak hati dan sintesis dari buah pikirannya. Tetapi saya percaya kalau aturan itu sebenernya nggak akan kedengeran semengekang itu kalau kita tahu apa rasionalisasi di belakangnya dan pencarian jati diri ini nggak akan jadi perjalanan city car di lintasan offroad jika komunikasi antara kedua pihak lancar dengan syarat “mendengar kalau ingin didengarkan”.

Tetapi, saya merasa beruntung karena sejak kecil hingga saat ini, orang tua saya nggak bikin banyak peraturan. Saya juga gak bikin terlalu banyak dosa karena saya jadinya jarang membangkang, hahaha. Saya bebas mengeksplorasi dan memilih kegiatan yang mau saya tekuni, membentuk jati diri. Mungkin mama kapok untuk bawa saya les sempoa, yang akhir-akhirnya saya tandem dengan mama untuk mengerjakan PR dari tempat les soalnya banyak banget. Mungkin mama kapok untuk bawa saya les keyboard, yang akhir-akhirnya saat saya memainkan lagu sedih, saya sampai menangis. Mungkin karena terbawa perasaan alunan melodi lagu yang sedih. Lagu yang sedih karena menyayat kuping bukan menyayat hati karena tidak sesuai dengan tempo dan tangga nada.

Seorang Dhila akhirnya pernah bermimpi untuk menjadi komikus, atlet softball profesional, arsitek, fotografer, sutradara, penulis, desainer grafis, dan power ranger biru. Nyatanya, beberapa mimpi kandas karena “ketidakasyikkan” menjadi dewasa itu membuat manusia berpikir lebih rasional dalam berimajinasi, dan beberapa menuju kandas karena memang saya tidak sungguh-sungguh “menghadirkan” diri saya di sana sepenuhnya. Saya yang dulunya menganggap multitalenta adalah sebuah pujian, kini sempat terpikir kalau itu bisa jadi adalah sebuah sindiran, sebuah tamparan di muka. Menyadari akan hal itu, akhirnya tahun lalu saya mencoba untuk fokus.

Saya fokus di kegiatan-kegiatan kemahasiswaan untuk belajar lebih banyak tentang organizational leadership. Fokus di ITB inMove, di Keluarga Mahasiswa SBM ITB, di Google Student Ambassador. Mulai dari menentukan visi, membangun tim, mendelegasikan tugas dan tanggung jawab, juga belajar berempati dan mendengarkan.

Fokus sih outcome pribadinya, tapi enggak ke outcome yang diharapkan oleh semua orang yang terlibat dari kegiatan yang saya jalankan. Saya malu karena saya tidak memberikan effort yang sama besarnya untuk tiap-tiap tanggung jawab yang saya emban. Baru aja ikut-ikut nyemplung ke organisasi waktu kuliah, sekarang udah pegang segala macam. Gagap-gagap organisasi gitu akhirnya (oke, saya gak tau sih penjelasan gagap organisasi  itu kayak gimana, cuma frasa ini lumayan menggambarkan apa yang saya rasakan). Seharusnya saya lebih mengenal anggota tim lebih dalam, mengontak mereka lebih sering, entah itu menanyakan kabar atau kesulitan yang dihadapi dalam tugasnya.

Saya bukan tipe orang yang suka basa-basi. Setiap pembicaraan yang saya lakukan, pertanyaan yang saya lontarkan, itu memang karena saya mau tahu dan ingin saya ingat setiap detilnya. Nggak kaya abang-abang pinggir jalan yang lagi jongkok sambil ngerokok, nanya “mau ke mana, Neng? Mending ikut abang dangdutan.” Ini cuma contoh ya, maaf bila ada abang-abang yang merasa terdiskreditkan karena dia emang beneran sepenuh hati ngajakin neng-neng lewat buat dangdutan bareng.

Akibat banyaknya kegiatan yang memaksa saya membuat skala prioritas, membuat saya lalai untuk mengerti masing-masing anggota tim. Padahal mereka nggak bersalah, dan mereka juga sama besar juga keinginannya untuk men-develop diri mereka melalui kegiatan yang mereka pilih ini. Namun, saya tidak cukup sering untuk menyodorkan kesempatan yang ada agar lebih mudah mereka raih. Ujung-ujungnya, saya hanya bisa melihat permukaan air saja tanpa tau sedalam dan sebanyak apa ikan di dalamnya. Melalui postingan ini saya meminta maaf pada kalian, orang-orang yang mungkin berharap besar, tetapi menelan kecewa.

Selain fokus pada organizational leadership, tahun lalu saya menekankan bahwa saya ingin bisa public speaking dengan baik. Pengennya sih sekeren orang-orang yang udah pernah ngomong di TED. Selama keberjalanannya setahun kemarin hingga hari ini, tidak banyak perubahan yang ada pada diri saya. Bagaimana mau berubah banyak, orang ngomong depan umum aja jarang, bahkan gak mau. Kesempatan ada banyak, namun hanya sedikit sekali yang saya ambil, malah ada yang saya tolak. Keberanian saya tertutup dengan rasa malu yang menyelimuti dan sejuta pertanyaan tentang “orang bakal mikir apa, ya, kalau saya ngomong kayak gini..” Saya mikir tentang pikiran orang lain yang belum tentu orang itu pikirkan! Saya juga mikir, “bakal nge-blank nih, bakal nge-blank“, dan beneran aja semua susunan kata dalam otak hilang dalam sekejap mata.

Parahnya, ada beberapa situasi tertentu yang kalau misalnya bentar lagi giliran saya ngomong, disarankan, jangan dekat-dekat, kecuali kalau anda termasuk penjinak granat. Suka ada kelakuan-kelakuan yang tidak bisa ditangkap oleh nalar manusia lah pokoknya. Gimana, sudah mulai menyesal karena memasukkan saya ke dalam daftar teman anda? Hahaha, plis jangan dong. Tapi, pernah juga ada yang lancar-lancar aja saat tiba-tiba ditodong cerita beberapa pengalaman, salah satunya adalah ITB inMove di depan anak-anak Start Surabaya oleh Ko “Bro” Yansen saat Januari lalu. Gara-gara ditodong, saya jadi gak sempet panik-panik dulu, soalnya keburu berdiri di depan dan harus cerita. Hahaha kesannya tuh kayak “berperilaku panik” itu masuk dalam salah satu SOP kalau Dhila mau public speaking, ya, cuma waktu itu ke-skip.

Dari semua tragedi yang terjadi sebelum, saat, maupun sesudah public speaking, yang saya simpulkan, satu-satunya cara untuk overcome masalah public speaking ini adalah menambah jam terbang. Sepintar apapun habis baca buku tentang public speaking, tetep aja, jantungmu akan berdetak dengan irama barisan tentara perang, dan sensasi itu gak didapatkan saat kamu hanya belajar public speaking dari membaca.

Kalau kalian berhasil baca sampai sini, yak, selamat, kalian telah menguak semua pelajaran hidup dari dua fokus utama saya setahun kemarin, organizational leadership dan public speaking (walaupun yang public speaking ini semi-semi wacana belaka). Sebenernya, apa sih yang mau dicapai saat dua fokus tersebut bisa saya kuasai? Ada satu misi yang mau saya capai gitu deh, tapi malu kalau cerita di sini, cuma, saya udah lumayan sering cerita ke orang-orang sih kalau lagi ngomongin tentang misi utama ITB inMove. Pokoknya, kalau ngomongin tentang itu, saya sangat menggebu-gebu gitu deh. Kan kalau ditulis, jadinya gak keliatan gitu menggebu-gebunya. Kecuali, KALAU DITULIS PAKE CAPSLOCK TERUS KAYAK KALIMAT INI. Tapi kan gak sopan, hehe. Nah, yang mau saya tambahkan, untuk mencapai misi tersebut sepertinya saya hanya boleh memilih satu case study deh, supaya, ya, hasilnya bisa maksimal sampai ruang untuk meng-improve outcome itu habis. Ibarat kalau kamu baru aja jadi pelatih vokal terus udah disuruh ngelatih paduan suara, susah untuk tau siapa yang suaranya fals saat lagi nyanyi bareng-bareng. Kalau kamu ngelatih satu orang solois aja, kamu bisa lebih cepat untuk tau dan meng-improve dia.

“Dhila kenapa nulis kesalahan-kesalahan yang kamu buat di blog kamu sih? Kan jadi kesannya kamu tuh anaknya minderan gitu?”

Eits, jangan salah! Jika dibandingkan dengan sebelumnya, kepercayaan diri saya lumayan meningkat loh. Kok bisa? Setelah saya mencari tau apa yang salah dari yang saya lakukan, menganalisis akar permasalahannya, dan merumuskan apa yang harusnya saya lakukan untuk memperbaiki keadaan yang ada untuk menghabiskan segala kegelisahan yang mendera, saya merasa lebih “aman”. Hingga akhirnya saya merasa saya harus menuliskannya di sini. Hingga akhirnya saya tiba-tiba merasa bisa untuk menaklukan dunia. Oke, berlebihan. Walaupun saya gak jago public speaking, lumayan lah, ya, saya bisa menulis. Public writing. Ahaha gak penting banget pengalihan isunya. Intinya, dengan memberi tahu kelemahan saya pada dunia, saya jadi merasa kalau saya memiliki kekuatan untuk menghadapi kelemahan itu. Terlepas dari fakta bahwa saya tahu kalau saya tidak akan pernah bisa memiliki kekuatan seperti power ranger biru, ya. Sebenernya, ini postingan permintaan maaf juga sih untuk orang-orang yang merasa kecewa dengan saya.

Sekarang saya berumur 21 tahun. Semakin ke sini, semakin habis waktu untuk melakukan kesalahan yang sama. Dengan mengetahui dan mengakui kesalahan itu lebih cepat, lebih cepat juga postingan ini berakhir. Haha ga deng. Hng….duh, kehabisan kata bijak nih (kayak yang tadi-tadi ada yang bijak aja kata-katanya). Silakan renungkan sendiri dan simpulkan, ya.


Posted

in

by

Tags:

Comments

2 responses to “Duapuluh Satu”

  1. rey Avatar
    rey

    Dil minta pin bb donk…kali bs lbh byk sharing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *