Kesimpulan Melenceng Jauh Dari Pendahuluan

Tahun 2013 akan segera berakhir. Beberapa jam lagi. Tinggal beberapa jam lagi! Wow. Bakalan ada banyak perubahan nih. Perubahan paling besar yang harus saya mau tak mau terima dan biasakan yaitu menulis angka 4 bukan angka 3 setelah menulis angka 201. Tapi rasa-rasanya nggak begitu masalah sih. Kalau dulu iya, masalah. Waktu SD terutama. Menulis tanggal adalah suatu kewajiban. Kenapa wajib, ya? Agar peka kalau waktu itu jalannya tak pernah mundur? Atau supaya ingat sekarang tanggal berapa? Selain dengan seragam yang bisa berbeda tiap harinya, anak kecil dituntut untuk hafal tanggal dengan cara menuliskannya dalam buku? Kalau sudah besar sih untuk mengingat tanggal berapa sih nggak butuh ditulis, cukup lihat dompet. Ada uangnya atau tidak?

Tahun 2013 benar-benar akan segera berakhir. Apa saja yang sudah terjadi dalam hidup saya pada tahun ini sih? Banyak? Ya banyak. Saya sudah merem dan sudah melek jutaan kali pada tahun ini. Saya sudah keluar masuk kamar mandi yang berbeda-beda pada tahun ini. Saya sudah pernah naik mobil Avanza yang rasa-rasanya kayak duduk dalam pesawat yang mau lepas landas tapi nggak lepas-lepas. Saya sudah pernah berakting di atas panggung, lalu selama gladi bersih, show hari pertama, dan show hari terakhir melakukan kesalahan yang sama pada satu kata dalam dialog saya, harusnya “ketiup” bukan “kepencet”. Padahal itu saya yang tulis dialognya dan saya sendiri yang ganti dialognya. Saya pernah dapat nilai UAS 5 dari skala 1-100. Mending tidak usah ikut ujian, ya?

Banyak sekali “saya sudah, saya sudah” di tahun ini. Begitu juga dari tahun-tahun sebelumnya, sudah menumpuk mungkin, bahkan berceceran di mana-mana. Namun, ada beberapa “saya sudah” yang saya ingin angkat pada kali ini. Sebagai tulisan penutup tahun. Ibaratnya nonton infotainment, ini adalah skandal artis paling heboh pada tahun ini, bagi saya.

1. Adegan tersesat di tengah lingkungan “ini bukan di mana-mana yang ada dalam foursquare” sudah saya alami. Beneran. Pernah nonton film Jelangkung? Adegan yang pemerannya dibacok-bacok dalam hutan (cuma adegan itu yang saya tonton dalam film ini, sama satu lagi adegan kursi goyang [ada gak sih adegan kursi goyang?]). Nah, itu dia, mirip sama yang saya alami. Tapi bedanya saya nggak dibacok. Bedanya banyak sih. Yang samanya cuma bagian latarnya malem-malem aja kayanya.

Kejadian yang menyeramkan setengah mampus itu membuktikan satu hal pada saya. Kayaknya hantu-hantu, jin segala macem itu, nggak mau tatap muka sama saya deh. Padahal saya takutan banget. Mungkin saking takutnya sampai-sampai takutnya itu terasa hambar kali ya di kalangan hantu-hantu. Kayak mereka tuh udah males nakut-nakutin orang yang pas hantunya belum menampakkan diri saja orangnya udah nggak sadarkan diri, mungkin. “Ngapain nakut-nakutin orang yang udah pasti takut? Nggak ada tantangannya, bro!” ujar salah seorang hantu dari ras Pantai Selatan, mungkin.

Ah! Atau mungkin saja hantunya, pada kenyataannya, sudah muncul di hadapan saya, tapi saya tidak bisa melihatnya karena saya suka lari dari kenyataan! Hahaha…hambar Dhila.

2. Saya sudah berani donor darah! Hingga sampai saat saya menulis kalimat ini, terhitung sudah tiga kali saya donor darah. Donor yang pertama yang kedua alhamdulillah berjalan dengan lancar. Sekali tusuk, darah mengalir, cabut jarum, dan ditutup dengan sensasi kayak nggak jalan pakai kaki, mantap deh pokoknya. Yang terakhir ini agak menyeramkan. Darahnya mampet. Jarumnya pertama diudek-udek sama bapak kurus, terus habis itu dibantuin diudek sama suster besar. Suster yang berbadan besar. Ngeri. Jahat sih karena ukuran badannya saya berpikir apa yang dilakukan oleh dia itu jauh-jauh lebih berdampak besar, sebanding dengan besar badannya. Habisnya dari kecil banyak ditanamkan image seperti itu sih, dari film-film yang saya tonton.

3. Mendadak ikutan seleksi lomba skala nasional dan terpilih dalam 30 besar. Dan yang paling menyenangkannya, lomba ini nggak kerasa kayak lomba. Wow, apaan coba? Saya ikutan UFLL (Unilever Future Leaders’ League)! Senang dan bangga sekali sudah pernah merasakan beberapa hari satu atap sama orang-orang super keren! Beberapa hari ngambil es krim sesukanya. Beberapa hari mendapatkan banyaaaak ilmu dan pandangan yang benar-benar menambah berat otak saya beberapa gram (eh apa berat ini datangnya dari es krim yang saya makan?). Dan satu hari cuma tidur 25 menit. Jreng.

Awalnya ikut seleksi lomba ini soalnya lagi kebayang gimana rasanya keterima jadi finalis lomba. Rasanya bakalan keren tuh. Terus ngebayangin nanti kalau keterima aku mau bereaksi kayak gimana, terus habis itu mau ngapain aja setelah tau kalau aku keterima seleksi. Pokoknya mendadak berorientasi sama apa yang bakalan dirasakan kalau goalnya tercapai, bukan pada goalnya gitu. Akhirnya, saya bikin power point yang berisi marketing activation apa yang bakalan nge-hits buat Buavita (itu pertanyaan yang harus saya jawab dalam bagian yang saya pilih, Marketing. Selain itu ada Finance, Supply Chain, Human Resources, dan Customer Development, pertanyaannya beda-beda). Dan, sent!

Singkat cerita, keterima. Terus pas keterima kan kaget-kaget gitu kan baca emailnya. Terus saya baru sadar satu hal, hal yang saya luput untuk bayangkan setelah keterima jadi 30 finalis ini, hal yang lebih harus dipikirkan setelah senyum mesem-mesem habis keterima seleksi, yaitu lombanya. Saya udah tau kalau keterima seleksi ini habis itu bakalan lomba. Saya tahu. Tapi saya tak sampai membayangkan, man, this is really happening, saya beneran lolos dan habis ini beneran ikutan lomba.

Dan, presentasi.

Pasti bakalan ada presentasi.

Ngomong di depan orang banyak, menjabarkan materi yang kamu buat dalam lomba.

This is a nightmare. (Haha, my name is Dhila, but you can call me Lebay)

Saya nggak terlalu jago ngomong di depan orang banyak.

Mendadak menyesal ikutan. Apa yang harus saya lakukan, bro sis? Apalagi saya baru ingat, skill kenal-kenalan saya itu rendah. Skill bikin percakapan yang bermutu apalagi.

Duh, kalau pada ngomongin bursa saham, gimana? Kalau pada ngomongin bisnis ternak belut, gimana? Harus menanggapi apa? Pura-pura nggak denger aja gitu kali ya.

Istilah FMCG aja baru ngerti beberapa hari pas lagi U-Camp. FMCG aku kira itu semacam nama majalah cewek atau apa pun itu yang berbau kecewek-cewekan, tahunya itu singkatan dari Fast Moving Consumer Goods. Unilever itu perusahaan yang bergerak di fast moving consumer goods. Rasa-rasanya itu ibarat main bowling tapi pake bola sepak takraw.

Tahu istilah “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”? Kalau datang ke suatu daerah, sebisa mungkin beradaptasi dengan kebudayaan di sana? Ya, saya tahu. Ada satu yang sulit saya coba. Ngomong satu kalimat bahasa Indonesia dengan taburan istilah berbahasa Inggris di dalamnya. Saya lebih terbiasa ngomong kalimat bahasa Indonesia dengan garnish “euy” di belakangnya. Paling-paling cuma sesekali saya bisa pakai, kayak “Saya mau ke toilet dulu.” Sudah deh.

Tapi, begitu semuanya dimulai, U-Camp dimulai, sedikit-sedikit ketakutan saya sirna. Nggak ada tuh yang ngomongin bisnis ternak belut. Teman-temannya asyik-asyik, pembicaranya keren-keren, really (Dhila mencoba bilingual, haha). Kapan lagi dapet ilmu langsung dari orang yang mikirin produk yang biasanya kamu lihat iklannya di TV. Men, ternyata iklan ini tuh hasil pemikiran dia men. Sampai hari ini, tiap ngeliat Ponds, langsung ada asosiasi di otak saya sama satu wajah cantik brand managernya Ponds.

Dari U-Camp ini, saya tahu kalau Buavita itu beneran nggak pakai pengawet. Wow. Pemanisnya juga nggak pakai pemanis buatan. Wow. Terus saya jadi tahu deh, jus kemasan mana yang pakai pengawet. Dan nggak akan saya beli lagi, hahaha.

Tunggu, kenapa harus ada “hahaha” di kalimat sebelumnya, ya? Hm, saya pikir itu untuk pencair suasana, soalnya kalimat yang tadi itu terdengar agak tajam.

Pengalaman yang didapet selama U-Camp itu nggak cuma ilmu yang ada dalam text book doang, lebih ke beneran pengalaman terjun di dunia bisnis. Mulai dari merancang konsep produk baru, strategi produksi dan pemasarannya, bikin packaging produknya, bikin iklannya, sampai beneran turun jualan!

Semua kegiatan yang tercantum dalam daftar rundown itu berlangsung dengan sangat seru, nggak kayak nama kegiatannya. Kadang ada nama kegiatan yang bikin saya mules kayak “Individual Challenge” atau “Presentation Coaching”.

Eh, tapi yang “Presentation Coaching” emang beneran bikin mules sih. Berkesan banget tapi. Di sini, saya menemukan role model yang membimbing saya dari gelapnya dunia presentasi. Saya ingin bisa presentasi sekharisma beliau deh pokoknya.

Di Presentation Coaching ini, setiap timnya (lombanya itu dari 30 orang dibikin tim yang terdiri atas 3 orang) dimentori satu orang. Tim aku kebagian sama Kak Leidya. Kak Leidya itu di Unilever sebagai Senior Assistant Brand Manager Buavita. Sosok Kak Leidya ini bikin saya merinding. Dia itu orang di balik semua business case yang kami kerjakan. Salah satu case-nya bikin saya terjaga semalam suntuk. Berarti Kak Leidya itu inti dari permasalahan yang bikin saya gak bisa tidur kan? Nggak gitu juga sih. Yang bikin merinding itu bagian “straight to the point”-nya. Nggak bertele-tele, jarang ada buffer. Sama Kak Leidya, satu-satu dari anggota tim, Bony, Avi, dan saya, disuruh ngomong dua menit. Ngomong memperkenalkan diri terus dilanjut apapun yang bisa diomongin sampai dua menit habis. Buat memperkenalkan diri dalam bahasa Indonesia saja kadang-kadang tercampur sama bahasa kesunyian, apalagi dalam bahasa Inggris. Tapi akhirnya saya bisa ngomong dua menit, saya bisa bertahan dari gempuran tatapan tajam Kak Leidya. Walaupun banyak darah kasat mata bercucuran di sana-sini. Habis itu dikasih feedback yang menampar. Pas nyoba ngasih alesan, ditanggepin gini “mikirnya kayak gitu? yaudah selamanya aja kayak gitu. Kamu mau gitu?” pokoknya intinya gitu deh.

Habis itu, Kak Leidya ngasih contoh presentasi. Dia presentasiin produk yang kami bikin di depan kami. Fasih banget, kayak kalimat-kalimatnya itu udah diulang ribuan kali sampai keluar begitu aja otomatis. Fasih banget, ini sih kayak yang menggarap Buavita Love (nama produk yang kami bikin) itu Kak Leidya, bukan kitorang ini. Habisnya lebih meyakinkan dan really really persuade others to believe in what she said. Intonasi, pilihan kata, cara berbicara dan bersikapnya, profesional banget deh. Pokoknya, tanpa cela!

photo-1-e1514119265472.jpg

Bareng Kak Leidya, sang superstar public speaking.

Dari sini saya sadar, kalau saya punya konsep yang menurut saya keren banget tapi nggak bisa dikomunikasikan pada orang lain biar orang lain itu bisa ngerti apa yang kita omongin, oh man, such a waste. Sadar sesadar-sadarnya sadar deh, bener. Tim kami dapat predikat The Best Concept, namun dari sisi presentasi, kami jauh dari yang lain. Kayaknya gara-gara aku sih. Mana ada presentasi formal yang presenternya lompat-lompat?

Tahu botol saus tomat atau saus sambal Pizza Hut yang sudah diguncang-guncang sampai bikin yang mengguncang-guncang botol sausnya itu jiwanya terguncang namun sausnya tak kunjung keluar?

Kayak itu lah kalimat yang saya coba keluarkan dari otak saat berhadapan dengan orang banyak.

Saya nggak mau kayak gitu lagi.

Berbekal dengan wejangan dari Kak Leidya, yang dengan seenaknya saya nobatkan jadi role model presentasi paling keren, saya mau kejar kemampuan public speaking saya. Agar setara dengan yang orang lain dulu deh paling tidak, nggak goyang-goyang nggak jelas pas sambil ngomong.

Saya cari kesempatan ngomong di depan orang banyak sebanyak-banyaknya. Jawab pertanyaan dan ngasih di auditorium, salah satunya. Pernah saya angkat tangan, padahal belum ada kalimat apapun yang melintas di otak saya. Saya pikirkan jawabannya sambil saya ngomong jawabannya. Ngelantur sih, tapi yang penting saya mau berlatih menghadapi ketakutan saya untuk ngomong di depan orang banyak. At least, I try to speak up. Tapi nanti lagi mau dipikirkan lebih matang lagi sih. Kadang terlalu semangat buat coba ngomong sih.

Kayaknya ujung post ini tersasar jauh dari apa yang kalian kira saya tulis ya? Kayak nggak ada kerangkanya? Iya sih saya setuju. Habis di tengah-tengah malah pengen cerita yang lain lagi sih.

Akhir kata, Dhila is going to be a master in public speaking!

photo 2

***

Untunglah, ini bukan essay yang saya bikin untuk ujian akhir. Ada pendahuluan, ada analisis masalah, tapi kesimpulannya melenceng jauh dari dua bagian sebelumnya. Mau dapat nilai berapa?

***

[youtube=https://youtu.be/7XZRDPPLGUM]


Posted

in

by

Comments

2 responses to “Kesimpulan Melenceng Jauh Dari Pendahuluan”

  1. Nasha Pinasthika Avatar

    Akuh akuh akuh juga tahun ini mencoba donor daraaaah! Walaupun habis itu pingsan dan dimarahin habis-habisan sama Mama Papa, yang penting udah pernah coba donor darah :3

    Seru sekali Dhila, don’t stay awesome, be zuper awesome ya tahun ini!

    Love,
    Roommate

  2. milka Avatar

    Ada saya yang menjelma menjadi aku sebelum kembali memutuskan menjadi saya dalam tulisan ini. Terselip kalimat menggunakan kata ganti orang ketiga untuk menyebut diri sendiri (sesuatu yang semakin jarang terdengar belakangan). Selamat tahun baru, neng! Mau dong nonton dirimu ber-public speaking 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *