Sore Ini

Sore kali ini terasa panjang.

Tak usai-usainya pembicaran ibu-ibu kompleks yang membicarakan Bapak RT 005, bapak RT yang dinominasikan para ibu kompleks sebagai bapak RT paling ganteng setelah Adam Levine.

Tak henti-hentinya suara tangis anak kecil yang direbut rokoknya oleh bapak polisi.

Namun, sore ini tak ada bedanya dengan sore-sore sebelumnya.

Setiap sore, di ujung Jalan Asmara, selalu ada pelanggan tetap Warung Bakso Mantap yang duduk di kursi merah jambu menyantap bakso dengan lahap. Pelanggan tetap ini seorang anak-anak. Anak ini sangat menggandrungi bakso yang dijual oleh seorang pria paruh baya berkumis yang tebal bernama Timur Motorsaikel. Anak yang lagi makan bakso tersebut namanya Muson Sumbosumbimbo. Hubungan antara mereka berdua hanya sebatas pembeli dan penjual. Tidak kurang, apalagi lebih.

Muson saat ini sudah menghabiskan 25 mangkuk bakso. Mungkin, bagi kebanyakan orang hal tersebut tidak wajar, namun bagi Muson hal ini adalah rutinitasnya setiap hari. Rutinitas yang ia jalankan sejak akil balig. Bagi Muson, makan bakso itu setara dengan salat lima waktu.

Ibu Muson bernama Lembayung. Pelajaran yang disukai ibu Muson adalah geografi. Maka dari itu, dia namakan anak satu-satunya dengan nama angin yang berhembus di Indonesia. Ini sih, for your information aja ya. Tidak terlalu penting juga sih untuk diketahui. Buat asik-asikan aja. Walau tidak asik, ya, pura-pura asik aja deh. Pura-pura ninja! Teenage Mutant Ninja Turtles.

Pak Timur, sang penjual bakso, adalah penjual yang selalu ludes dagangannya setiap hari. Padahal, rasa bakso yang ia racik itu biasa saja. Malah, kadang sampai dimuntahkan para pembelinya.

Tidak, dia tidak menggunakan campur tangan ilmu hitam dalam berdagang. Dia hanya menggunakan ilmu putih. Dia berdoa dan berdzikir setiap hari. Di samping itu, dia melaksanakan salat tepat waktu. Saking tepat waktunya, kalau muadzin belum mengumandangkan adzan saat waktunya adzan sudah tiba, dia lah yang langsung menggantikan—lebih tepatnya sih, nyalip. Walaupun suaranya cempreng, hal itu menyebabkan warga lebih antusias untuk segera bergegas menuju masjid. Tidak untuk salat, tetapi menghentikan Timur yang sedang mengumandangkan adzan.

Pak Timur adalah penjual bakso yang lucu. Saking lucunya, walau tidak ada orang di sekitar Pak Timur, tetap aja ada suara orang tertawa. Seringnya sih suara tertawa wanita.

“EUUURGP! HAHAHAHAHAHA!” Muson bersendawa, lalu tertawa. Suaranya nyaring sekali.

Hal ini tidak pernah Muson lakukan sebelumnya. Biasanya, Muson hanya bersendawa tanpa mengeluarkan suara, hanya tercium baunya saja. Muson juga tidak pernah tertawa selama ia menikmati bakso favoritnya. Pak Timur pun ternyata menyadari benar adanya ketidakberesan dalam tindakan Muson, sang pelanggan tetap, tadi.

Benar saja, tak lama kemudian, Muson kolaps.

Brug!

Muson terjatuh dari kursi merah jambu. Kepada dia lah semua pandangan pembeli bakso tertuju. Namun, tak ada satu orang pun yang bangkit dan membantu. Kecuali, Pak Timur. Dengan sigapnya, Pak Timur menggotong Muson yang tak sadarkan diri dan membaringkannya ke atas kasur berkelambu.

“Sss…siapa aku?” tanya Muson. “Kamu adalah anakku. Kamu adalah Muson Sumbosubimbo, anakku!” jawab Pak Timur setengah berteriak. Muson merasa bingung.

Tetapi, dalam waktu singkat, Muson sedikit demi sedikit mulai meyakini pernyataan sang bapak penjual bakso. Muson mulai meyakini bahwa inilah kenyataan yang sebenarnya. Alasan dibalik adanya kecocokan antara nama Muson dan Pak Timur. Nama mereka bisa digabungkan menjadi “angin muson timur” dengan catatan apabila nama ibu Muson adalah Angin. Kemungkinannya kecil sih, malah nihil. Kan di paragraf sebelumnya sudah diberi tahu, kalau nama Ibu Muson adalah Lembayung. Jadi, masih ada ketidakpercayaan Muson pada Pak Timur. Maka dari itu, Muson mencoba memastikan.

“Benarkah? Benarkah aku ini anakmu? Jadi, aku… aku… adalah buah hatimu?” tanya Muson lagi. “Aku yang selama ini membeli baksomu dan total kasbonnya Rp2.250.000,00 adalah anakmu? AAAAAH BAPAAAAKUUU! AI LAF YUUUU!” Muson kali ini menyambar tanpa titik koma. Muson merasa senang tidak perlu bayar hutang kasbon bakso karena ia sebenarnya adalah anak sang bapak penjual bakso. Muson mulai memikirkan bagaimana hidupnya di masa depan sebagai generasi penerus Warung Bakso Mantap. Muson juga memikirkan hidupnya yang kini hanya makan bakso pada sore hari sebagai camilan, nantinya akan makan bakso tiga kali sehari sebagai panganan wajib.

Belum sempat Muson memikirkan nasibnya di masa depan menikahi anak juragan bakso kompleks sebelah, Pak Timur memotong khayalan Muson. “Eh, tenang, Dek. Tentu saja bukan. Haha. Jangan lupa bayar hutangnya, ya, Dek. Haha.” jawab Pak Timur datar sambil menaik-turunkan alisnya yang tebal seperti Shincan.

Seketika, Muson merasa layaknya dihujam ribuan bulu hidung yang tajam.

Sore kali ini ditutup dengan keheningan panjang di antara mereka. Tetapi, tetap saja terdengar tawa seorang wanita yang tidak diketahui asal suaranya.


Posted

in

by